IQNA

IQNA:

Keluarnya Undang-undang Kewarganegaraan Baru di India; Pengulangan Versi Krisis Rohingya

22:33 - December 31, 2019
Berita ID: 3473790
INDIA (IQNA) - Undang-undang kewarganegaraan baru di India akan menyebabkan banyak Muslim dari Pakistan, Afganistan dan Bangladesh, yang mungkin telah beremigrasi ke India setelah tahun 1987, dikeluarkan sebagai imigran ilegal, dan ini akan mirip dengan krisis Rohingya.

Menurut laporan IQNA, pemerintah India baru-baru ini mengajukan RUU yang berdasarkan hal tersebut, imigran non-Muslim dari tiga negara Islam Afganistan, Bangladesh dan Pakistan, diberikan kewarganegaraan India. RUU ini disahkan oleh Dewan Perwakilan pada hari Selasa, 10 November di majelis umum, dan pada Rabu, 11 November, di Senat negara ini dengan 125 suara setuju dan 105 suara menolak. Dengan disetujuinya undang-undang ini, kewarganegaraan India diberikan kepada umat Buddha, Hindu, Kristen, Sikh, dan beberapa minoritas lainnya tiga negara Islam.

Muslim India melihat undang-undang itu diskriminatif karena mengecualikan Muslim dari menerima kewarganegaraan India, dan menggambarkannya sebagai upaya lain pemerintah nasionalis Hindu melawan Islam dan Muslim, sementara Perdana Menteri India, Narendra Modi, Adopsi undang-undang tersebut adalah sebuah langkah untuk melindungi minoritas agama di Bangladesh, Pakistan dan Afganistan.

Menurut undang-undang tersebut, semua non-Muslim yang beremigrasi ke India dari Pakistan, Afganistan dan Bangladesh setelah 1987 kemungkinan akan diberikan kewarganegaraan India di kawasan bagian Assam India pada saat ini pada tahun 1971, sementara Muslim India tidak mendapatkan hak tersebut, tetapi satu masalah yang telah menimbulkan keprihatinan di kalangan umat Islam dan banyak organisasi, pengamat dan pakar hak asasi manusia internasional adalah bahwa krisis Rohingya akan terulang di India kali ini, karena pemerintah Myanmar juga dengan dalih bahwa Muslim Rohingya di bagian Rakhine adalah imigran ilegal dari Bangladesh; ranah pemindahan mereka dari Myanmar ke perbatasan Bangladesh memungkinkan, dan hari ini juga dikhawatirkan bahwa banyak Muslim yang beremigrasi ke India setelah 1987 akan diakui sebagai imigran ilegal dan diusir dari India.

Pengesahan undang-undang itu disambut dengan kemarahan yang meluas dari umat Islam, tetapi para mahasiswa, aktivis hak asasi manusia dan politik dan para pemimpin Kongres Nasional India  telah bergabung dalam barisan para demonstran dimana pemerintah India telah memutus layanan internet dan seluler di beberapa daerah dan dan meliburkan beberapa universitas.

Dalam hal ini, Al Jazeera News melaporkan dalam sebuah laporan berjudul Undang-undang kewarganegaraan baru di India “Bagaimana sistem akan melawan protes yang meluas dan kecaman global” meneliti dan mengkaji dimensi undang-undang baru ini dan implikasinya bagi umat Islam di ketiga negara ini, dan hasilnya adalah sebagai berikut:

Ketika pemerintah India mengeluarkan undang-undang yang memberikan kewarganegaraan kepada imigran non-Muslim ke Afganistan, Pakistan dan Bangladesh pada awal Desember melalui dua Gedung Parlemen dan Senat, mereka tidak berpikir itu akan menghadapi protes nasional dan oposisi global dan media. Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe membatalkan perjalanannya ke India karena protes, dan dua menteri Bangladesh menolak untuk melakukan perjalanan ke India guna memprotes klaim India terkait adanya imigran ilegal Bangladesh di negara ini.

Human Rights Watch

Human Rights Watch menggambarkan undang-undang itu melanggar kewajiban internasional India. Meskipun Mahkamah Agung India pada hari Rabu, 18 Desember, menolak 59 petisi untuk membatalkan atau menghentikan praktik kewarganegaraan oleh partai-partai, populasi, dan tokoh-tokohnya, namun Mahkamah Agung berjanji akan mengadakan sidang lagi pada 22 Januari untuk menindaklanjuti masalah ini. Petisi tersebut menekankan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan prinsip kesetaraan antara warga negara dan bertentangan dengan semangat konstitusi India karena telah memberikan manfaat kepada orang lain dan membuat umat Muslim kehilangan haknya.

Keluarnya Undang-undang Kewarganegaraan Baru di India; Pengulangan Versi Krisis Rohingya

Protes yang meluas mengejutkan Perdana Menteri, Narendra Modi dan dia tidak mengharapkan begitu banyak protes di seluruh negeri dan bahkan beberapa negara asing sampai-sampai Perdana Menteri India, Amit Shah, tangan kanan Modi mengtakan “Pemerintah siap mempertimbangkan kembali undang-undang ini”.

Problem Utama

Gagasan mereformasi Undang-undang Kewarganegaraan India, yang disahkan pada tahun 1955, muncul ketika pemerintah India pada bulan Agustus menemukan bahwa sebagian besar dari mereka yang telah mengajukan kewarganegaraan di Assam telah ditolak. Orang Hindu Bangladesh telah bermigrasi ke India karena tekanan dari negara itu atau untuk kehidupan yang lebih baik.

Pada akhir tahun tujuh puluhan abad lalu, sebuah gerakan rakyat diciptakan untuk mengusir orang Bangladesh di Assam karena mereka telah mengambil peluang kerja dari penduduk asli dan membahayakan budaya mereka. Pada saat itu, sebuah kesepakatan dicapai antara pemerintah India dan para pemimpin gerakan pada Agustus 1985 dan sebuah sensus akan diadakan di negara ini dan memberikan kewarganegaraan kepada semua orang yang ada di propinsi ini sebelum tahun 1971, yakni sebelum pembentukan pemerintahan Bangladesh saat ini. Sementara itu selalu diklaim bahwa sebagian besar orang Bangladesh yang memasuki India secara ilegal adalah Muslim.

Akhirnya, sensus dilakukan pada tahun 2019 dan ditemukan bahwa hampir dua juta penduduk Assam adalah imigran asing. Hasilnya mengejutkan pemerintah India, yang dipimpin oleh Partai Rakyat India (dari partai ekstrimis Hindu), karena mayoritas dari mereka yang namanya dihapus dari daftar kewarganegaraan adalah Hindu, sementara tujuan dari sensus tersebut adalah mengeluarkan nama-nama Muslim dari daftar kewarganegaraan.

Selanjutnya, Pemerintah India memutuskan untuk mengubah undang-undang kewarganegaraan yang disahkan pada tahun 1955 dengan menambahkan pasal undang-undang untuk mengizinkan imigran non-Muslim (Hindu, Kristen, Sikh dan lainnya) dari tiga negara tetangga yaitu Pakistan, Bangladesh dan Afganistan sehingga bisa memberikan kewarganegaraan kepada non-Muslim yang namanya dihapus dari daftar kewarganegaraan. Dengan menggunakan mayoritasnya di parlemen, partai yang berkuasa bisa mengesahkan undang-undang tersebut.

Tampaknya pemerintah India berupaya membantu minoritas agama di bawah tekanan di negara-negara tetangga, sementara undang-undang itu dimaksudkan untuk mengizinkan setiap Hindu yang tidak dapat memperoleh kewarganegaraan India dengan memberikan dokumentasi yang diperlukan, mendapatkan hak kewarganegaraan, dan poin kedua adalah berubahnya jutaan Muslim di India menjadi warga tanpa kewarganegaraan.

Warga Assam segera memahami permainan pemerintah dan merupakan yang pertama memprotes undang-undang yang diamandemen tersebut, dan demonstrasi berlanjut di sejumlah kawasan sampai para pasukan India diterjunkan untuk membubarkan para demonstran ke daerah tersebut.

Keluarnya Undang-undang Kewarganegaraan Baru di India; Pengulangan Versi Krisis Rohingya

Setelah Assam, enam kawasan lainnya di India juga memprotes, dan meskipun pemerintah India mengumumkan untuk membebaskan propinsi ini dari undang-undang yang baru, ketujuh propinsi tersebut masih memprotes dan tidak mematuhi karena mereka khawatir bahwa jika undang-undang tetap berlaku dan tidak dicabut, itu juga akan berlaku di kawasan-kawasan lainnya.

Demonstrasi telah menyebar ke berbagai kawasan di India juga, karena umat Islam telah menyadari bahwa mereka adalah korban nyata dari undang-undang baru ini, karena hal itu memungkinkan umat Hindu untuk dengan mudah memperoleh kewarganegaraan India tanpa bukti kewarganegaraan mereka. Sementara itu, berbagai kelompok, termasuk para mahasiswa, para aktivis hak asasi manusia, para pemimpin partai politik seperti Kongres Nasional India  menentang undang-undang tersebut, dan menyebutnya sebagai rencana gerakan politik ekstremis Hindu.

Muslim berada di garis depan protes karena undang-undang baru mengklasifikasikan mereka sebagai warga negara kelas dua dan dengan pencabutan kewarganegaraan India menyebabkan mereka terpinggirkan dan bahkan mereka tidak dapat lagi bermigrasi ke negara lain karena Pakistan dan Bangladesh tidak akan pernah menerima mereka. Dan Barat tidak dapat menerima imigran semacam itu tanpa jaminan keamanan sosialnya.

Protes Resmi Bangladesh

Sementara itu, Bangladesh memprotes undang-undang dengan secara resmi memprotes pemerintah India, dan dua menteri Bangladesh membatalkan perjalanan mereka ke Bangladesh untuk memprotes undang-undang tersebut dan klaim India atas imigran ilegal. Mereka meminta pemerintah India untuk mengumumkan daftar orang Bangladesh yang tinggal di India sehingga mereka dapat kembali ke negara asal mereka.

Bangladesh percaya bahwa klaim India terkait migrasi jutaan Hindu Bangladesh ke negara ini dikarenakan melarikan diri dari penganiayaan dan tekanan adalah penghinaan terhadap negara itu, yang selalu bersikeras melindungi minoritasnya. Mereka bertanya mengapa Bangladesh memiliki situasi ekonomi yang lebih baik daripada India, mengapa Bangladesh harus beremigrasi ke India? Duta besar Bangladesh untuk India juga mengejek bahwa "seorang Bangladesh membawa perenangnya ke Italia tetapi tidak pergi ke India dengan berjalan kaki".

Keluarnya Undang-undang Kewarganegaraan Baru di India; Pengulangan Versi Krisis Rohingya

Proses memperbarui 'Daftar Nasional' di India akan dimulai pada bulan April tahun depan dan semua penduduk India akan diperiksa di lapangan dan harus menyodorkan dokumen-dokumen tertentu seperti akta kelahiran, sertifikat tanah atau ijazah sekolah menengah sebelum tahun 1987. Namun tahun ini sehubungan dengan Assam diputuskan pada tahun 1971, yakni hari jadi berdirinya Bangladesh yang pada waktu itu disebut "Pakistan Timur".

Proses ini menyebabkan orang-orang yang dinamai sebagai orang tanpa status "Dakhla", tidak mendapatkan fasilitas pemerintah seperti masuk sekolah umum gratis, penggunaan klinik kesehatan masyarakat dan rumah sakit, entri pekerjaan pemerintah, pinjaman bank dan dokumen resmi seperti paspor, SIM dan kartu subsidi makanan dan pensiun, orang-orang ini akan terpinggirkan selama bertahun-tahun kecuali jika pemerintah merubah atau menemukan solusi penyelesaiaanya.

Pemerintah India berencana untuk memindahkan orang-orang tanpa kewarganegaraan ini ke kamp-kamp kerja paksa, sementara Kementerian Dalam Negeri India telah memerintahkan kamp-kamp tersebut untuk memukimkan kembali penduduk ilegal di beberapa kawasan pada beberapa bulan lalu, yang dapat mengakibatkan mereka dideportasi.

Puluhan kamp-kamp ini saat ini berada di Assam, dan para tahanan berada dalam kesulitan, dengan puluhan orang meninggal karena kurangnya perhatian dan kekurangan gizi, sementara tanggung jawab untuk mengelola kamp-kamp ini dan pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan tahanan.

Kecaman Besar-besaran

Pemerintah India saat ini telah berhasil mencapai beberapa tujuannya, seperti penghapusan otonomi Kashmir sebagai satu-satunya negara mayoritas Muslim di India dan putusan Mahkamah Agung yang mendukung tanah Hindu untuk masjid Babri, dan sekarang sedang menjalankan undang-undang status sipil bersatu di India di masa depan yang dekat adalah untuk menghilangkan Muslim dari praktik Islam dalam kasus-kasus seperti pernikahan, perceraian dan warisan.

Keluarnya Undang-undang Kewarganegaraan Baru di India; Pengulangan Versi Krisis Rohingya

Partai Rakyat India memprediksikan dengan permainan ini dapat memenangkan pemilihan nasional untuk ketiga kalinya dalam lima tahun ke depan, sementara itu sejumlah bukti menunjukkan sebaliknya, karena situasi ekonomi negara semakin memburuk dan produksi dan tingkat konsumsi nasional menurun dan negara ini sedang mengalami penurunan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, Partai Rakyat India baru-baru ini menghadapi kekalahan politik, seperti kekalahan dalam pemilihan propinsi seperti propinsi Maharashtra.

Patut dicatat bahwa tidak hanya umat Islam yang tidak berpartisipasi dalam protes baru-baru ini di India, tetapi juga banyak non-Muslim, terutama di universitas-universitas India, telah bergabung dalam protes, sampai-sampai menunjukkan di ratusan universitas dan perguruan tinggi di seluruh negeri setiap hari dilakukan demonstrasi, khususnya setelah polisi menyerang mahasiswa Universitas Islam Nasional Delhi dan mahasiswa Universitas Islam Aligarh, hingga pihak berwenang terpaksa menutup kedua universitas tersebut sampai 5 Januari dan mengeluarkan para mahasiswa dari asrama. Demikian juga ada larangan hilir mudik, pemutusan layanan internet dan seluler, dan media sosial di banyak tempat untuk mengendalikan protes.

Keluarnya Undang-undang Kewarganegaraan Baru di India; Pengulangan Versi Krisis Rohingya

Dunia Islam telah diam mengenai peristiwa-peristiwa di India, yang menargetkan minoritas Muslim terbesar di dunia, tetapi sekretaris jenderal PBB dan badan-badan hak asasi manusia seperti Amnesty International dan Human Rights Watch telah memperingatkan konsekuensi dari tindakan ini.

Para ahli dan analis percaya bahwa langkah baru India ini dapat dengan mudah berubah menjadi kebijakan pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya atau, sementara banyak surat kabar Barat seperti The New York Times dan The Washington Post mengecam tindakan itu dan memperingatkan India tentang buruk dan hubungannya dengan Barat. Hubungan yang digunakan India untuk meningkatkan status ekonomi, teknologi, dan politiknya dalam komunitas internasional.

 

https://iqna.ir/fa/news/3866217

 

captcha