IQNA

IQNA:

Penyebutan Teroris Ansarullah; Hadiah Terakhir Trump kepada Saudi

9:45 - January 16, 2021
Berita ID: 3474961
TEHERAN (IQNA) - Keputusan Trump untuk menyebut Yaman Ansarullah sebagai teroris dapat dianggap sebagai hadiah terakhir Presiden AS kepada para pemimpin Saudi, yang selama empat tahun pemerintahan Trump diuntungkan dari semua jenis dukungan untuk menerapkan kebijakan mereka di kawasan tersebut, dan hak asasi manusia adalah satu-satunya yang dikorbankan.

IQNA melaporkan, niat presiden AS untuk memasukkan gerakan Ansarullah Yaman ke dalam daftar organisasi teroris dalam beberapa hari terakhir telah membuat banyak orang percaya bahwa langkah pemerintahan Donald Trump di hari-hari terakhir kepresidenannya sebagai presiden AS adalah konsesi kepada pemerintah Saudi.

Sebagaimana dilansir AFP dalam beberapa hari terakhir, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo telah mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan menambahkan gerakan Ansarullah Yaman ke dalam daftar kelompok terorisnya. Menurut Mike Pompeo, Houthi akan secara resmi ditambahkan ke daftar kelompok teroris pada 19 Januari, sehari sebelum dimulainya pemerintahan Joe Biden.

Muncul beragam komentar mengenai alasan tindakan pemerintah AS ini di hari-hari terakhir kepresidenan Trump. Tetapi hampir semua orang menekankan satu hal: "Memuaskan Arab Saudi sebagai salah satu dari dua sekutu utama Amerika Serikat (bersama dengan rezim Zionis) di kawasan Asia Barat."

Hubungan antara Washington dan Riyadh telah mendingin ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak pemerintahan Barack Obama membuka arena baru bagi Iran (saingan regional terbesar Arab Saudi) dengan perjanjian JCPOA dan pencabutan sanksi terkait program nuklirnyaa. Meskipun hubungan ekonomi antara kedua negara tidak banyak berubah selama periode delapan tahun, dan bahkan pada 2010, kesepakatan senjata senilai $ 60,5 miliar dicapai antara Saudi dan Amerika, namun hubungan politik bergeser. Pada 2013, Pangeran Bandar bin Sultan, mantan kepala badan intelijen dan mantan duta besar Saudi untuk Washington, secara eksplisit menyatakan bahwa ada banyak ketidaksepakatan dengan Amerika Serikat mengenai masalah-masalah seperti JCPOA dan perang saudara Suriah. Meski demikian, dari sisi ekonomi, jalur relasi selalu selaras, hingga pada tahun 2017, Arab Saudi menduduki peringkat ke-20 pasar ekspor AS terbesar di dunia, peringkat ke-21 dalam hal impor dari Amerika Serikat.

Perbedaan pendapat ini tentu tidak terbatas pada kancah politik saja. Pelanggaran hak asasi manusia yang meluas di Arab Saudi berdampak buruk pada opini publik Amerika. Jajak pendapat Pew Research Center Desember 2013 menemukan bahwa 57 persen orang Amerika memiliki pandangan negatif terhadap Arab Saudi.

Tetapi selama kepresidenan Donald Trump, banyak hal berubah. Saudi, yang sejak 2015 (satu tahun sebelum kepresidenan Donald Trump) bersama dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, Sudan dan Mesir telah menginvasi Yaman dan mengepung negara itu melalui darat, laut dan udara untuk membawa kembali Abd Rabbuh Mansour Hadi, Presiden Yaman yang digulingkan berkuasa, Dengan perubahan kebijakan AS, mereka menemukan cara untuk melakukan operasi militer skala besar, beberapa di antaranya dianggap sebagai kejahatan terhadap warga sipil dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Namun hubungan dingin antara Washington dan Riyadh dihangatkan oleh kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Arab Saudi pada Mei 2017, perjalanan luar negeri pertamanya sejak menjadi presiden. Pembunuhan Jamal Khashoggi, seorang jurnalis oposisi Saudi dan reporter Washington Post di konsulat Saudi di Turki, memicu keretakan serius antara kedua negara, dengan Amerika Serikat menjatuhkan sanksi pada beberapa warga negara Saudi dan upaya kongres AS yang gagal untuk menghentikan penjualan senjata AS ke Arab Saudi untuk digunakan dalam perang Yaman. Namun, hal tersebut tidak mempengaruhi hubungan kedua negara, terutama di bidang penjualan senjata ke Arab Saudi, meski pejabat Turki dan badan intelijen AS menyimpulkan bahwa pembunuhan tersebut diperintahkan oleh Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman.

Kini, kabar masuknya gerakan Ansarullah Yaman ke dalam daftar organisasi teroris di hari-hari terakhir kepresidenan Trump bisa dianggap sebagai aksi dukungan AS terakhir terhadap Arab Saudi, yang akan berdampak paling besar bagi pemerintahan AS ke depan.

Sejatinya, dapat dikatakan bahwa tindakan pemerintahan Trump, selain membuat sukar kemungkinannya untuk mengurangi konflik dan mencapai kesepakatan antara kelompok-kelompok yang terlibat di bagian selatan Jazirah Arab, adalah semacam batu sandungan untuk kembali ke kesepakatan nuklir dengan Iran di bawah Joe Biden.

Di sisi lain, menyebut Ansarullah sebagai teroris akan membuat segalanya menjadi lebih sulit daripada apa pun bagi kelompok dan organisasi hak asasi manusia dan bantuan yang ada di Yaman. Organisasi-organisasi ini khawatir langkah seperti itu akan menyulitkan pengiriman makanan dan bantuan kesehatan, serta transaksi perbankan di Yaman. Alasannya adalah penguasaan sebagian besar Yaman oleh Houthi, di negara di mana 80% orang membutuhkan bantuan dan jutaan orang kelaparan. Organisasi bantuan serta Demokrat di Amerika Serikat, mengutip laporan PBB, menyebut langkah itu "berbahaya" dan memperingatkan akan meningkatnya krisis kemanusiaan di Yaman.

Langkah pemerintahan Trump ini dapat dianggap sebagai hadiah terakhirnya kepada para pemimpin Saudi, yang selama empat tahun pemerintahan Trump mendapat manfaat dari semua jenis dukungan untuk menerapkan kebijakan mereka di kawasan, dan hak asasi manusia adalah satu-satunya hal yang dikorbankan. (hry)

 

3947510

captcha