Menurut laporan IQNA, cabang Asia Timur, tiga fenomena religi, politik, dan militer Wahabisme, Ikhwanul Muslimin, dan ISIS dalam beberapa hari terakhir satu sama lain saling berkaitan, yang mana satu dengan yang lainnya sangat sulit dipisahkan; dalam tulisan ini akan dibahas ulasan terjadinya faktor-faktor ini di Asia Timur.
Nampaknya, tiga gerakan ini bekerja dalam satu arah dan dalam bentuk yang beragam dan peran yang beraneka macam dalam sepanjang tahun-tahun sebelumnya sampai sekarang ini. Gerakan religi “Muhammad bin Abdul Wahhab” sebelum bergabung dengan politik “Malik Abdul Aziz”, kebanyakan orang pada waktu itu mengenalnya sebagai sebuah gerakan reformis agama atau gerakan “Pembaharu”; barang kali orang-orang seperti Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Qalmuni” pemilik majalah Al-Manar, memiliki peran penting atas pemikiran “Hasan Al-Bana”, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin, sementara Rasyid Ridha, adalah seorang tokoh terkemuka kebangkitan Salafiah yang selalu mengagungkan Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri kelompok Wahabi dan menyebutnya sebagai reformis pada masanya.
Dengan demikian, kita melihat gerakan religi Wahabisme sebelum politiknya oleh para pemimpin keluarga Saud, mampu memiliki pengaruh yang mendalam atas gerakan Ikhwanul Muslimin; perselisihan yang terjadi dalam ranah politik Mesir dan Arab Saudi pada tahun-tahun terakhir, kebanyakan memiliki aspek politik dan aspek intelektual atas emosional yang mendalam di antara kedua gerakan tersebut. Namun, dengan berlalunya masa, Ikhwanul Muslimin memiliki esensi baru dan independen dari Wahabisme, yang mana hal tersebut akan kami singgung.
Perbedaan Substantif Antara Wahabisme dan Ikhwanul Muslimin
ISIS tidak bisa disebut peranakan langsung Wahabisme, akan tetapi peran yang telah dijalankan oleh Wahabisme dalam pembentukan Ikhwanul Muslimin dalam sepanjang sejarah, adalah gerakan yang dimainkan dalam pembentukan ISIS; namun antara Wahabisme, Salafiah, dan Ikhawanul Muslimin terdapat perbedaan substantif antara ketiganya.
Pokoknya, meskipun kompleksitas konteks politik, sosial, dan religi ISIS dapat diharapkan bahwa gerakan ini kebanyakan bersumber dari Ikhwan, dan kemudian Salafiah dan pada akhirnya Wahabisme dan menerima peran dari setiap gerakan-gerakan ini dan akhirnya muncul dalam bentuk sebuah gerakan militer.
Dengan demikian, dalam menjawab pertanyaan bahwa legalitas religi ISIS terkait dengan salah satu gerakan manakah itu, harus dikatakan bahwa contoh pertama gerakan Ikhwanul Muslimin memiliki peran lebih dari Wahabisme dalam pembentukan intelektual dan legalitas agama, namun dalam kasus apapun Wahabisme dalam bentuk pertamanya, keluar dari batasan politik keluarga Saud, dalam bentuk gerakan Salafi memiliki peran dalam pembentukan Ikhwanul Muslimin.
Dengan pembentukan aliansi lebih dari 40 negara, termasuk Amerika dan Arab Saudi yang melawan ISIS kebanyakan kritikan itu dilontarkan pada Wahabisme yang mengorganisasikan ISIS, yang mana pada sebelumnya adalah Al-Qaidah dan jarang sekali memperhatikan peran Ikhwanul Muslimin.
Wahabisme, Fenomena Religi yang Memiliki Akar dalam Pemikiran Salafisme
Wahabisme adalah fenomena religi yang memiliki akar dalam pemikiran Salafisme, seperti Ibnu Rajab Hanbali, Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan bahkan seorang fakih seperti Ibnu Abi al-‘Iz Dimasyqi dan sebelum bersatu dengan keluarga Saud adalah sebuah gerakan agama murni. Namun, dengan datangnya Malik Abdul Aziz gerakan religi ini menjadi program tablig pertama negara dan Wahabisme sebelumnya memiliki warna religi bergabung dengan tujuan-tujuan keluarga Saud.
Pada abad-abad silam, gerakan ini bekerja sebagai sebuah sarana militer untuk negara, bukan sebuah organisasi rahasia dan gerakan militer Wahabisme ini terus berlanjut sampai tahun 1929 M. yakni kemenangan Malik Abdul Aziz atas pembangkangan pasukan “Ikhwan Man Tha’allah”. Pasukan ini pada tahun 1924-1925 membantu Malik Abdul Aziz dan pemerintahan Hijaz Hasyimi diganti dengan nama pemerintahan Arab Saudi.
Para pasukan “Ikhwan Man Tha’allah” menghendaki kelanjutan sebagaimana kemenangannya di Irak sebagai jihad fi sabilillah dan membunuh orang-orang musyrik, namun secara kebetulan Malik bin Abdul Aziz mencegah mereka untuk menyerang kabilah-kabilah Irak dan Najd, namun pasukan Ikhwan Man Tha’allah” dengan dipimpin Faishal bin Sultan Dawis, Sultan bin Bajad, Dhidan bin Hitslain di kawasan Arthawiyah- Hijaz, bertekad melanjutkan perang guna menjaga agama dan membunuh kaum musyrikin.
Pasukan tersebut pada tahun 1929 kalah dalam perang Raudhah Subulih dan Malik Abdul Aziz setelah menggunakan militer membasmi dan menghapus pasukan Ikhwan, sebuah gerakan yang kita saksikan pada hari-hari terakhir di Mesir dan Irak.
Pengaruh Gerakan Salafi dalam Wahabisme dan Wahabisme dalam Ikhwan
Gerakan religi Salafi dalam Wahabisme dan Wahabisme dalam Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin dalam ISIS saling berpengaruh; namun setiap dari gerakan religi, politik, dan militer ini satu sama lain saling memiliki perbedaan, dimana akan kami singgung secara ringkas.
Wahabisme bersumber dari gerakan Salafi, yakni para pengikut Salafu al-Shalih dan gerakan memerangi bid’ah, dengan demikian setiap wahabi adalah salafi, dan tidak sebaliknya, dikarenakan dalam mazhab seperti Hambali, Hanafi, Maliki, dan bahkan Syafi’i (contohnya di Indonesia dan Malaysia) juga terdapat gerakan Salafi dengan menjaga identitas keagamaan, namun bukan berarti mereka harus wahabi.
Gerakan Ikhwanul Muslimin adalah sebuah gerakan politik dan dengan organisasi rahasia, sedangkan Salafi dan Wahabisme adalah sebuah gerakan intelektual dan agama secara tidak rahasia dan Wahabisme dalam bentuk politiknya juga memiliki aktivitas jelas dengan dukungan Arab Saudi.
Masalah Khilafah Islam; Termasuk Perselisihan antara Wahabisme dan Ikhwanul Muslimin
Di antara perselisihan Wahabisme dan Ikhwanul Muslimin adalah masalah khilafah Islam dan sejarah menjadi saksi peperangan Wahabisme dengan kekhilafahan Utsmani, sedangkan ISIS dan Ikhwanul Muslimin dalam pembentukan khilafah Islam satu pemikiran dan “Wajdi Ghanim” salah seorang pemimpin religi Ikhwanul Muslimin dalam halaman facebooknya menganggap tujuan semua pejuang dan mujahid adalah membentuk negara Islam dan dirinya menyesal karena tidak berada dalam barisan teroris ISIS di Irak.
Dalam menjalankan aksi bom bunuh diri juga terdapat perbedaan pendapat antara para fakih wahabi dan Ikhwanul Muslimin, karena para pemimpin ikhwan pada tahun-tahun terakhir melegalitaskan aksi ini sedangkan para ulama wahabi setidaknya untuk menjaga penampilannya menentang tindakan ini; banyak sekali dari para jemaah ikhwan menarik lembaga-lembaga khairiyah Arab Saudi, yang ada di dalam dan luar negeri dan pemikiran Salafi Ikhwani seperti Ali Thanthawi dan Muhammad Majdzub dan Ikhwani Salafi dalam bentuk populasi Sururiah yang terkait dengan Muhammad Surur Zainal Abidin dibentuk untuk menggabungkan antara Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Sayid Quthub.
ISIS menggunakan pelbagai sarana guna memikat para remaja, yang lebih selaras dengan slogan-slogan Ikhwanul Muslimin; seperti mukjizat dan karomah, bantuan para malaikat Tuhan kepada para teroris ISIS, menggunakan lagu penyemangat remaja dan melihat aura cahaya dan semisalnya; perlu diingat bahwa Wahabisme tidak mengingkari karomah dan mukjizat Ilahi dan melihat aura cahaya dan Ibnu Taimiyah dalam buku “Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyyah”, hlm. 500, mengatakan, “Karomah para wali menurut ijma’ para pemimpin Islam, sunnah dan jamaah adalah benar dan Al-Quran menegaskannya dalam banyak tempat dan hadis-hadis shahih dan riwayat-riwayat mutawatir dari para sahabat dan tabi’in, kecuali hanya mereka yang menegaskan akan keabsahannya.”
Tentunya, penjelasan demikian tidak memiliki pengikut di kalangan para Wahabi; karena mereka, berdasarkan ucapan Ibnu Taimiyah, meyakini bahwa kaum muslimin harus mencari jalan lurus, dan bukan karomah.
Di Utara Halab, dua orang teroris ISIS menukilkan karomahnya, “Pasukan Suriah menggunakan semua sarana untuk membunuh kami, dan di antaranya mereka menggunakan bahan api, yang kemudian Allah mengirim angin dan diri merekalah yang tertimpa api.” Orang kedua menukilkan, “Pemerintah menggunakan sarana perang terbaru melawan kami, akan tetapi Allah dengan mukjizat-Nya menjadikan sarana tersebut melawan para musuh kami.”
Konteks kepercayaan kaum muslimin Asia Timur yang mencakup Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand pengungkap kebenaran ini, mazhab ideologi Asyari dengan tendensi Ahli Hadis telah menyiapkan ranah untuk masuknya Salafi melalui komunikasi dengan para ulama wahabi, pengiriman para mahasiswa ke Arab Saudi untuk menuntut ilmu agama, pengiriman banyak para mahasiswa ke Mesir dan Jordan, dan penerimaan ribuan para mahasiswa Arab dari negara-negara tersebut dan interaksi luas ekonomi Malaysia dengan Qatar dan Arab Saudi.
Dengan tersebarnya pemikiran kering Salafi di kalangan masyarakat, rasionalisme secara keseluruhan telah tersingkir dalam kancah agama dan dalam semua sekolah dan markas-markas ilmiah, juga pengajaran filsafat dan teologi dikaterogikan sebagai penyelewengan dari Al-Quran dan sunnah.
Hubungan Emosional yang Mendalam dan Pembentukan Partai-partai Islam Malaysia dengan Gerakan Ikhwanul Muslimin
Hubungan emosional yang mendalam dan pembentukan partai-partai Islam Malaysia dengan gerakan Ikhwanul Muslimin begitu juga pada tahun-tahun yang silam, sangatlah marak di tengah-tengah kalangan kaum muslimin Asia Timur bahwa seolah-olah gerakan pemikiran yang berkuasa terhadap ISIS berada di bawah pengaruh Ikhwanul Muslimin.
Anti-Amerika di kalangan kaum muslimin Asia Timur adalah fenomena yang dapat ditemukan dalam pelbagai kasta sosial dari para pemimpin partai UMNO sampai partai-partai Cina dan partai Islam dan semua masyarakat kawasan Malaysia.
Aliansi Amerika dan Arab Saudi sebagai asal Wahabisme dan 40 negara lainnya untuk memerangi ISIS telah menyebabkan pengunduran politik para pendukung tradisional Arab Saudi di kawasan Asia Timur; karena menurut mereka Arab Saudi berada dalam barisan terdepan Amerika untuk memerangi mujahidin Islam, atau kata lainnya adalah ISIS. Dalam kondisi demikian, gerakan Salafi dan Ikhwanul Muslimin seakan telah lebih dulu merampok di kawasan dari Wahabisme dan menambah bahayanya pengaruh ISIS dan mengurangi kadar kecintaan Arab Saudi di kawasan.
Doktor Ali Akbar ziyai, Konsultan Kebudayaan Iran di Malaysia