Menurut laporan IQNA, seperti dikutip dari World Bulletin, rekomendasi pelarangan hijab para pelajar muslim dari pihak para biksu Buddha merupakan aksi terbaru yang menunjukkan kelanjutan dan bertambahnya ketegangan dan diskriminasi agama di negara ini.
Sekelompok biksu Buddha yang bernama Ma Bha Ta mengklaim bahwa hijab bertentangan dengan undang-undang sekolah Myanmar dan harus dilarang.
Para biksu Ma Bha Ta menyelenggarakan sebuah konferensi di kota Rangoon pada akhir pekan lalu. Lebih dari 1300 biksu Buddha dari seluruh penjuru Myanmar hadir dalam konferensi ini guna membahas agenda-agenda untuk mempromosikan agenda nasional pada malam pemilihan umum di negeri ini, yang akan diselengggarakan pada akhir-akhir tahun ini.
Menurut laporan Guardian, Ma Bha Ta telah merilis daftar rekomendasi dan mengumumkan kepada para anggotanya, bahwa melalui lobi pemerintah, untuk memberlakukan pembatasan lebih lanjut pada komunitas Muslim di negara itu. Pelarangan hijab termasuk salah satu rekomendasi ini.
Demikian juga, termasuk daftar rekomendasi ini adalah pelarangan korban dengan dalih bertentangan dengan kebudayaan Buddha Myanmar.
Demikian juga, salah seorang biksu anggota kelompok Ma Bha Ta dalam hal ini mengatakan, kaum muslimin selama tinggal di Myanmar harus mengikuti undang-undang dan ketetapan negara ini.
Demikian juga, kelompok ini mensuport masyarakat untuk memberikan pendapat kepada kandidat-kandidat yang tidak akan mengizinkan ras dan agama Buddha sirna.
Kelompok ini dengan menyebarkan sebuah statemen mengatakan, menurut pemantauannya kejahatan non- Buddhis masih terus berlanjut dan akan diinformasikan melalui facebook guna pemublikasian berita-berita berbahaya yang mengancam Buddhisme.
Lebih dari 1.300.000 ribu orang muslim Rohingnya di Myanmar mendapat diskriminasi dan ketidakadilan dari mayoritas Buddhis, diantaranya adalah pembatasan gerakan, jumlah keturunan keluarga dan akses pekerjaan.
Dalam beberapa tahun terakhir banyak sekali kaum muslim Rohingnya terbunuh akibat kekerasan Buddhis dan ribuan orang terbaksa meninggalkan rumah-rumah mereka akibat serangan ekstrem Buddhis.
Pemerintah Myanmar mengingkari hak kewarganegaraan mayoritas populasi Rohingnya dan masalah ini sampai-sampai PBB mengenalkan etnis muslim Rohingya sebagai salah satu masyarakat minoritas paling teraniaya di dunia.
Kekerasan terhadap muslim Rohingnya di Myanmar menyebabkan terlunta-luntanya masyarakat ini dan pengungsian para gelandangan ke negara-negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Negara-negara ini juga yang dengan penolakan mereka untuk menerima banyak pengungsi telah menempatkan mereka dalam resiko kematian atau terjebak dalam perangkap penyelundupan manusia.