IQNA

Tiga Pelajaran Penting dari Perang 12 Hari yang Dipaksakan terhadap Iran Menurut Kisah Seorang Doktor Indonesia

14:07 - July 22, 2025
Berita ID: 3482405
IQNA - Dr. Dina Sulaeman, seraya mengisyaratkan bahwa perang yang dipaksakan oleh AS dan Israel terhadap Iran juga merupakan alarm peringatan bagi masyarakat internasional, menyatakan: Perlunya kemandirian, diplomasi independen, dan peninjauan kembali kepercayaan pada lembaga internasional adalah tiga pelajaran utama dari pertempuran antara hukum dan pelanggaran hukum; bagi negara-negara seperti Iran dan negara-negara lain di dunia, peristiwa-peristiwa ini bukan sekadar kekalahan politik, tetapi juga pelajaran yang jelas.

Menurut Iqna, webinar internasional "Martabat dan Kewibawaan Iran; Pesan Melampaui Rudal" telah diselenggarakan Sabtu, 19 Juli, di IQNA, dengan dihadiri oleh ketua Jihad Akademik dan sejumlah profesor dari berbagai universitas di seluruh dunia.

Menyusul perang paksa selama 12 hari antara Israel dan Amerika Serikat melawan Iran, webinar ini, yang diselenggarakan oleh International Quran News Agency (IQNA), membahas topik-topik seperti "Pertahanan Iran yang Sah dalam Sistem Hukum Internasional", "Operasi True Promise 3 dan Perubahan Persamaan Strategis Kawasan", dan "Pembunuhan Ilmuwan; Bukti Keteraniayaan Iran dan Pelanggaran Hukum Internasional".

Dina Sulaeman, Doktor Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Indonesia, berbicara dalam kuliah videonya tentang "Operasi True Promise 3 dan perubahan persamaan strategis di kawasan" dan menyatakan: "Perang yang dipaksakan terhadap Iran juga merupakan alarm peringatan bagi komunitas internasional. Jika struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa, terutama sistem veto, tidak direformasi, jika badan tersebut tidak diwajibkan untuk melaksanakan peraturannya secara imparsial, jika mekanisme akuntabilitas tidak ditetapkan bagi para pelanggar hukum internasional, maka kita sedang menuju jalan yang akan mengarah pada masa depan tanpa keadilan, tanpa perdamaian, dan tanpa kepercayaan."

Saya berbicara kepada Anda hari ini, bukan hanya sebagai seorang ahli geopolitik, tetapi sebagai seseorang yang prihatin dengan keruntuhan moral dari apa yang kita sebut sistem internasional. Izinkan saya memulai dengan sebuah adegan dari Juni 2025. Dunia menyaksikan dengan penuh harapan perkembangan negosiasi nuklir antara Iran dan Amerika Serikat.

Setelah bertahun-tahun dilanda ketegangan dan ketidakpercayaan, kedua belah pihak menyatakan kepuasan atas kemajuan perundingan. Ada kemungkinan nyata untuk mencapai kesepakatan damai. Namun, tepat di tengah kemajuan ini, Israel melancarkan serangan militer mendadak terhadap Iran. Tak lama kemudian, Amerika Serikat ikut campur, mengebom fasilitas nuklir Iran, yang berada di bawah pengawasan hukum Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).

Profesor Marko Milanović, pakar hukum internasional terkemuka, menyebut tindakan Israel sebagai "kejahatan agresi," yang dianggap sebagai salah satu kejahatan paling serius dalam sistem hukum global.

Namun, tanggapan dari lembaga-lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, IAEA, dan lembaga-lembaga lain yang dianggap sebagai pencetus tatanan global hanyalah diam.

Lebih parah lagi, hukum humaniter juga dilanggar.

Laporan-laporan mengonfirmasi bahwa serangan-serangan tersebut juga menargetkan wilayah sipil di dekat lokasi militer.

Kasus yang paling mengerikan adalah pengeboman kendaraan Bulan Sabit Merah yang sedang mengirimkan bantuan kemanusiaan.

Ini bukan hanya Iran. Ini adalah bagian dari pola yang lebih luas; pola yang telah kita saksikan di Palestina selama bertahun-tahun.

Selama lebih dari 75 tahun, rakyat Palestina telah menjadi korban pendudukan ilegal, penghancuran rumah, pengepungan, dan kekerasan militer. Ribuan orang telah tewas. Jutaan orang hidup tanpa hak-hak dasar. Namun, Dewan Keamanan PBB belum dapat mengambil tindakan efektif apa pun karena veto AS.

Sebaliknya, Iran selalu membela perjuangan Palestina.

Bukan untuk keuntungan politik. Bukan untuk meraih kekuasaan. Melainkan karena kewajiban moral.

ضرورت خودکفایی، دیپلماسی مستقل و بازنگری در اعتماد به نهادهای بین‌الملل؛ درس‌هایی از نبردی بی‌قانون علیه ایران + فیلم

Mari kita jujur:

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan IAEA didirikan setelah Perang Dunia II dengan janji mencegah bencana lain. Namun, struktur mereka mengatakan sebaliknya.

Dewan Keamanan PBB telah memberikan hak veto kepada lima negara: AS, Inggris, Prancis, Tiongkok, dan Rusia.

Hak veto ini telah melumpuhkan keadilan internasional, terutama ketika sekutu dari negara-negara tersebut terlibat.

Dan badan tersebut, yang seharusnya merupakan badan teknis dan imparsial, berada di bawah tekanan kepentingan politik, terutama kepentingan AS dan sekutu-sekutunya di Eropa.

Sekaranglah saatnya reformasi.

Sekaranglah saatnya kepemimpinan yang jujur.

Dan sekaranglah saatnya untuk berpihak pada kaum tertindas, meskipun tidak terlalu populer. (HRY)

 

4294593

Kunci-kunci: Pelajaran ، Perang ، iran ، Kisah
captcha