IQNA

Tinjauan Fikih “Haji yang Belum Selesai” Imam Husein (as)

15:25 - July 28, 2022
Berita ID: 3477093
TEHERAN (IQNA) - Salah satu masalah fikih yang terkait dengan kebangkitan Imam Husein (as) adalah "hajinya yang setengah jalan". Karena Imam hadir di Makkah pada saat haji, namun di tengah ritual, beliau bergegas menuju Kufah dan terjadi kebangkitan Asyura. Tetapi penelitian menunjukkan bahwa mereka tidak berniat untuk melakukan haji sejak dari awal karena beberapa alasan.

Merujuk pada penelitian tentang haji terakhir Imam Husein (as), Mohammad Soroush Mahallati telah melakukan tinjauan fikih, yang akan Anda baca di bawah ini:

Haji yang Belum Selesai" mengacu pada haji terakhir Imam Husein (as) sebelum peristiwa Karbala. Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa Imam (as) meninggalkan hajinya yang belum selesai agar tidak ditangkap oleh agen Yazid bin Muawiyah, dan mengubah niatnya dari Umrah Tamattu’ ke Umrah Mufradah, dan meninggalkan Makkah menuju Kufah pada hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah). Namun, menurut beberapa bukti sejarah dan riwayat, Imam (as) memiliki niat umrah mufradah sejak awal dan tidak melakukan haji sama sekali sehingga meninggalkan haji yang belum selesai; karena beliau tidak berkurban dan tidak mengenakan pakaian ihram dari miqat dan sudah siap berangkat sejak dari awal.

Imam Husain as tiba di Makkah pada awal-awal bulan Sya'ban dan tinggal di Makkah sampai hari Tarwiyah. Isu fikih pertama yang dikaji dalam hal ini adalah apakah imam berihram untuk menunaikan ibadah haji dan mengubah Tamattu menjadi umrah atau tidak? Diriwayatkan dari Imam as-Shadiq (as) bahwasanya ia berkata: “Kakekku Husein (as) berihram untuk umrah pada bulan Dzulhijjah, bukan untuk Tamattu, dan pada hari Tawriyah ia bergerak menuju Irak, dan bahkan pada bulan Dzulhijjah, siapa saja yang tidak ingin melakukan Tamattu, dapat melakukan umrah."

Tetapi masalah kedua yang dikaji dari sudut pandang fikih adalah bahwa ketika Imam (as) pergi ke Makkah, beberapa orang menyarankannya untuk tinggal di Makkah karena Makkah adalah tempat yang lebih aman bagi Imam, tetapi Imam (as) mengatakan bahwa kemuliaan Ka'bah harus dijaga; namun persoalannya adalah apakah kemuliaan Imam lebih tinggi ataukah Ka'bah?

Allah menjadikan rumah ini tempat yang aman dan kita bertanggung jawab untuk menjaganya agar tetap aman. Kita harus merelakan hak kita agar keamanan di sana tidak hilang. Tetapi ada dua jenis keamanan: keamanan takwini dan keamanan tasyri’i. Makna ayat-ayat Alquran adalah keamanan Tasyri’i; artinya, bukan tidak mungkin terjadi pertumpahan darah di sana, tetapi telah terjadi pertumpahan darah di sana, tetapi ini adalah hukum tasyri’i. Makkah adalah rumah yang aman dan tidak boleh menjadi tempat konflik dan pertumpahan darah.

Imam Husein (as) meninggalkan Makkah untuk melindungi hukum ini. Beliau memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan dan beliau tidak bisa mengatakan bahwa hilangnya keamanan dengan cara ini ditujukan pada mereka yang menumpahkan darahku dan darah rakyat; sebaliknya, mereka juga memiliki kewajiban dan begitu pula Imam (as). Imam (as) berkata: Saya pergi agar tidak melanggar kesucian Makkah.

Dengan meninggalkan Makkah, Imam (as) menjaga keamanan dan kesucian Makkah. Dikatakan dalam sebuah riwayat bahwa pada malam yang sama ketika Imam (as) ingin meninggalkan Makkah pagi itu, Muhammad bin Hanafiyyah mendatangi Imam dan berkata: Mengapa kamu ingin pergi ke Kufah? Kufah, yang bersikap sdemikian rupa terhadap ayah handamu dan bersikap seperti itu terhadap kakakmu. Tinggallah di sini di Makkah, Anda memiliki kehidupan yang bermartabat dan Anda dihormati.

Sebagai tanggapan, Imam (as) berkata: Saya khawatir bahwa agen Yazid berencana untuk membunuh saya dan darah akan tumpah di tempat suci. Saya seharusnya tidak berpartisipasi dan saya harus menghentikannya, meskipun mereka zalim. Imam (as) berkata, saya harus menjaga kesucian Ka'bah. Imam (as) berkorban agar prinsip-prinsip agama tetap ada. Tidak ada alasan bagi Imam (as) untuk mengorbankan semua ini untuk menjaga dirinya sendiri. (HRY)

captcha