Realisasi penuh tujuan-tujuan Islam tidak mungkin terwujud kecuali jika terdapat tatanan sosial yang komprehensif; karena Islam adalah agama yang komprehensif yang memperhatikan seluruh aspek kehidupan manusia secara individu dan sosial serta mengarahkan segala urusannya ke arah tauhid dan ibadah kepada Tuhan serta mengatur segala urusan kehidupan manusia dengan asas dan cabangnya. Bertolak opini dan berbagai tradisi tidak mencapai keteraturan seperti itu, maka Alquran mengatakan:
وَ اعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَ لَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103)
Pada dua ayat sebelumnya (QS. Ali Imran: 101), Alquran telah mengenalkan berpegang teguh pada Nabi saw dan ayat-ayat Ilahi adalah berpegang teguh pada Tuhan dan penjamin hidayah seseorang. Dalam surah An-Nisa' juga sangat menekankan untuk merujuk dan menaati Rasulullah saw dalam segala urusan masyarakat dimana dijelaskan ketundukan dan kepuasan hati terhadap hasil arbitrase sebagai syarat iman sejati:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)
Namun apa contoh Hablullah dan poros keteraturan masyarakat setelah Rasulullah saw? Jika kita menganggap Alquran dan Sunnah sebagai poros penyelesaian perbedaan, kita dapat melihat bahwa sepanjang sejarah Islam, banyak aliran dan sekte yang terbentuk dan masing-masing membawa kitab dan Sunnah dalam makna yang berbeda-beda. Namun dengan mengacu pada Alquran, kita menjumpai konsep wali Amr. Alquran telah meminta umat Islam untuk kepada mereka baik dalam kasus perselisihan dan persengketaan (QS. An-Nisa: 59) maupun dalam menganalisis dan memahami permasalahan yang kompleks:
وَ لَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَ إِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (QS. An-Nisa: 83)
Wali Amr dalam Alquran adalah kelompok yang tidak mendapatkan wahyu dan tugasnya hanya mengeluarkan pendapat-pendapat yang mereka anggap benar. Ketaatan kepada mereka dalam pendapatnya dan perkataannya adalah wajib bagi manusia, sebagaimana ketaatan kepada Rasulullah dalam pendapat dan ucapannya adalah wajib bagi manusia: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. An-Nisa’: 59 ). Kecaman beliau yang merujuk pada hukum Taghut pada ayat berikutnya (QS. An-Nisa: 60) merupakan indikasi bahwa Ulil Amri tidak meletakkan suatu hukum yang baru selain dari hukum Allah dan Rasul, melainkan hukumnya kembali kepada Alquran dan Sunnah.
Wajib menaati Ulil Amri tanpa syarat apa pun dan tidak dapat diasumsikan bahwa Anda juga harus menaati Ulil Amri selama mereka tidak melakukan dosa. Oleh karena itu, kewajiban menaatinya sama dengan kewajiban menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah umat yang maksum dalam ucapan dan perbuatannya. Karena kita tidak mempunyai kekuatan untuk mengidentifikasi orang-orang ini, kita memerlukan Allah dan Nabi (saw) untuk menjelaskan mereka dimana ada banyak riwayat seperti itu.
Sebagaimana riwayat mutawatir Tsaqlain dari Rasulullah (saw) telah diriwayatkan dalam banyak kitab hadis. Antara lain kita membaca dalam Sahih Muslim:
«... وَأَنَا تَارِکٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ: أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللهِ، وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: «وَأَهْلُ بَيْتِی أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِی أَهْلِ بَيْتِی، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِی أَهْلِ بَيْتِی، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِی أَهْلِ بَيْتِی»
“Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), yaitu: Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan : ‘ (Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ – beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali." (Shahih Muslim, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, jild. 4, hlm. 1873, hadis 36).