Menurut Iqna, Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dengan mayoritas Sunni, selalu dikenal sebagai salah satu contoh nyata hidup berdampingan secara damai antar agama dan mazhab. Namun, kehadiran kelompok agama minoritas, termasuk Syiah, di negara ini terkadang dikaitkan dengan tantangan politik, agama, dan sosial.
Dalam hal ini, Republik Islam Iran, sebagai negara Syiah terpenting di dunia, telah memainkan peran penting dalam membentuk sikap keagamaan dan politik negara-negara Muslim, termasuk Indonesia.
Dalam artikel ini telah dianalisis lebih dalam mengenai pengaruh sejarah, budaya, sosial dan politik Syiah dan Republik Islam Iran terhadap Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat dan negarawan Indonesia terhadap mazhab dan negara tersebut.
Latar Belakang Kehadiran Syiah di Indonesia
Kehadiran Syiah di Indonesia berakar pada sejarah Islam di negeri ini sejak berabad-abad yang lalu. Masuknya ajaran Syiah pertama kali ke Indonesia adalah melalui para pedagang dan mubaligh Iran dan Yaman yang melakukan perjalanan ke pesisir negeri ini, khususnya Aceh dan Sumatera, pada abad-abad yang lalu. Doktrin Syiah meninggalkan dampak budaya dan agama yang mendalam di wilayah tersebut dan telah diwujudkan dalam beberapa acara keagamaan dan adat di wilayah tersebut, khususnya pada Hari Asyura.
Pengaruh kolonialisme Belanda dan pembatasan Syiah
Dengan masuknya kolonialisme Belanda di Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18, kehadiran Syiah di negeri ini ikut terpengaruh. Belanda yang untuk lebih baik mengelola umat Islam di wilayah ini, memperkuat gerakan Sunni, dan berusaha membatasi pengaruh Syiah dengan mengedepankan mazhab Syafi'i. Kebijakan Belanda ini mengurangi pengaruh Syiah di banyak wilayah di Indonesia, dan Syiah dipinggirkan sebagai minoritas kecil di antara mayoritas Sunni.
Melalui kerjasama dengan ulama Sunni dan lembaga keagamaan setempat, penjajah Belanda berusaha mencegah penyebaran Syiah dan menggunakan Islam sebagai alat untuk memperkuat kendali kolonial mereka.
Dampak Revolusi Islam Iran terhadap Indonesia
Terjadinya revolusi Islam di Iran pada tahun 1979 di bawah kepemimpinan Imam Khomeini (qs) merupakan titik balik sejarah kontemporer dunia Islam dan Indonesia. Revolusi Islam menginspirasi banyak gerakan Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan slogan-slogan keadilan, kembali ke prinsip-prinsip Islam, dan perjuangan melawan arogansi.
Pada tahun 1980an dan 1990an, sejumlah besar pelajar dan cendekiawan Indonesia melakukan perjalanan ke Iran untuk belajar, dan setelah kembali ke Indonesia, mereka mengajarkan ajaran Syiah dan ide-ide Revolusi Islam. Para pelajar yang melek akan budaya Iran dan ajaran Imam Khomeini ini berperan penting dalam transfer ilmu dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap Syiah.
Ketegangan agama dan propaganda anti-Syiah
Dalam beberapa tahun terakhir, dengan tumbuhnya kelompok ekstremis agama di Indonesia, ketegangan mazhab antara Sunni dan Syiah semakin meningkat. Kelompok ekstremis ini, seperti FPI, telah memperburuk perbedaan mazhab di masyarakat Indonesia dengan propaganda anti-Syiah. Mereka menggunakan media sosial sebagai alat utama untuk menyebarkan informasi palsu tentang Syiah dan Republik Islam Iran dan mencoba menggambarkan Syiah sebagai ancaman mazhab. Propaganda negatif ini telah menyebabkan semakin besarnya kesenjangan antara Sunni dan Syiah serta memicu kekerasan dan konflik mazhab di beberapa daerah.
Di beberapa wilayah tersebut, kaum Syiah menghadapi diskriminasi sosial dan ekonomi dan terpaksa meninggalkan rumah dan tempat tinggal mereka. Konflik-konflik ini menyebabkan kekhawatiran internasional terhadap situasi mazhab minoritas di Indonesia semakin meningkat.
Reaksi pemerintah dan lembaga keagamaan Indonesia
Pemerintah Indonesia telah berupaya mencegah ketegangan agama dengan mempromosikan kebebasan beragama dan pluralisme agama. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama, dan pemerintah berupaya membela hak-hak kelompok agama minoritas, termasuk kelompok Syiah. Namun, di beberapa daerah yang berada di bawah pengaruh kelompok ekstremis, pemerintah menghadapi tantangan dalam menerapkan kebijakan tersebut. (HRY)