Kesamaan yang sangat menonjol dalam kehidupan kedua manusia sempurna ini dalam menghadapi umat Islam dalam masyarakat Islam, bahkan dengan pihak yang tidak sepihak dengan mereka, adalah menciptakan persatuan dalam masyarakat Islam. Baik Rasulullah (saw) maupun Imam Shadiq (as) menempatkan strategi utama mereka dalam mengelola masyarakat Islam dan berurusan dengan orang-orang beriman dan umat Islam, adalah dengan menciptakan persatuan dan empati di kalangan umat Islam.
Padahal, baik Rasulullah (saw) dan Imam Shadiq (as) hidup dalam masyarakat dimana sebagian orang, atau bahkan sebagian besar dari mereka, tidak sependapat dengan para manusia sempurna tersebut, dan mereka membiarkan banyak kezaliman terhadap kedua manusia ini. Namun masalah-masalah tersebut dan kurangnya kerja sama tidak menghalangi kedua manusia ini untuk menarik diri dari strategi ini.
Mengenai Nabi Muhammad saw, fakta pertama yang harus diperhatikan adalah beliau membawa agama yang komprehensif dan lengkap yang disebut “Islam” kepada masyarakat saat itu. Dalam Alquran yang memuat wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, mempersatukan umat Islam merupakan strategi utama dalam menghadapi umat Islam; dimana Allah berfirman:
وَ اعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَميعاً وَ لا تَفَرَّقُوا وَ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْداءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوانا
“Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara”. (QS. Ali Imran: 103)
وَ أَطيعُوا اللَّهَ وَ رَسُولَهُ وَ لا تَنازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَ تَذْهَبَ ريحُكُمْ
Taatilah Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang”. (QS. Al-Anfal: 47)
Pada dasarnya nama “Islam” yang diberikan pada agama ini mengacu pada arti “pembawa perdamaian dan persatuan”. Penjelasannya, kata ini berasal dari kata “salama” yang berarti “perdamaian, persahabatan dan persatuan” dan bab If’alnya adalah “aslama” yang berarti “mendamaikan dan menciptakan persatuan”. Alquran mengatakan dalam konteks ini:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh”. (QS. Al-Baqarah: 208) Ayat ini menekankan prinsip dasar Islam dalam dimensi sosial, yaitu menciptakan perdamaian, persahabatan dan persatuan di kalangan masyarakat Islam, serta mencegah perpecahan dan perbedaan di antara anggotanya.
Dalam siroh Rasulullah (saw), kita juga melihat bahwa Rasulullah (saw) berusaha keras untuk menciptakan kerukunan dan persatuan dalam masyarakat di bawah komandonya. Dalam berbagai kesempatan, beliau berusaha menciptakan ikatan persaudaraan di kalangan umat Islam, khususnya antara kaum muhajirin dan kaum Ansar. Salah satu keburukan sosial Madinah saat itu adalah dualitas Muhajirin-Ansar. Keburukan ini mempunyai kapasitas yang besar untuk mengaktifkan dan menciptakan perbedaan dalam masyarakat.
Dalam siroh Imam Shadiq as, kita juga bisa melihat dampak persatuan umat Islam. Pertama-tama, perlu dicatat bahwa Imam Shadiq (as) tidak meninggalkan kota Madinah, yang merupakan kota Rasulullah (saw), dan tidak menetap di Kufah, yang merupakan rumah utama dari kaum Syiahnya. Padahal Madinah bukanlah kota yang sejalan dengan pemikiran Imam dan tidak banyak penganut Syiah di sana. Di sisi lain, banyak dari murid Imam Shadiq (as), yang jumlahnya lebih dari 4.000, bukan termasuk golongan Syi'ah Imam, dan beberapa di antaranya, seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Auza'i, dll., termasuk di antara cendekiawan umum yang hebat. Perilaku Imam tersebut sedemikian rupa sehingga beliau menarik kesemuanya yang mengikuti ajarannya dan menjadikan mereka pecintanya.
Poin penting dalam biografi Imam Shadiq (as) dalam menghadapi umat Islam adalah bahwa pada masanya, sektarianisme sektarianisasi koin merupakan hal yang lumrah di pasar pada masa itu. Setiap sarjana dan ilmuwan yang muncul mengumpulkan siswa di sekitarnya dan mendirikan sebuah sekte. Sebagian besar sekte-sekte ini telah menghilang sepanjang sejarah, namun beberapa mazhab fikih atau teologis masih tetap ada sejak saat itu; seperti Hanafi, Maliki di kalangan Sunni, Zaidi, dan Ismaili di kalangan Syiah. Dalam nuansa seperti itu, Imam tidak berusaha untuk menciptakan sekte dan memisahkan cara kaum Syiah dari Muslim lainnya, namun terlihat banyak hadis dari beliau dimana Imam menyerukan Syi'ahnya untuk hidup bersama dengan umat Islam lainnya. (HRY)