IQNA

Cendekiawan Bahrain dalam Webinar IQNA:

Haji dalam Pemikiran Imam (qs) Adalah Kewajiban Ibdah - Politik yang Tidak Dapat Dipisahkan

4:30 - June 04, 2025
Berita ID: 3482157
IQNA - Syekh Abdullah Daqqaq terkait pemikiran Imam Khomeini (qs) tentang haji, menekankan: Dalam pemikiran Imam Khomeini yang agung, haji tidak bermakna apa-apa tanpa baraah (berlepas diri) dari kaum musyrik dan merupakan kewajiban ilahiyah-politik yang tidak dapat dipisahkan.

Kemarin, tanggal 3 Juni, dalam webinar "Imam Khomeini Kabir; Model Perubahan di Dunia Islam" yang diselenggarakan di IQNA dalam rangka peringatan 36 tahun wafatnya Imam Khomeini (qs), pendiri besar Revolusi Islam Iran, Hujjatul Islam wal Muslimin Syekh Abdullah Daqqaq, seorang ulama terkemuka dan perwakilan pemimpin Syiah Bahrain di Iran, menyampaikan pidato dengan topik "Haji dan Perkembangan Gerakan Ideologi Dunia Islam dalam Pemikiran Imam (qs)" dan menjelaskan aspek fikih dan politik haji yang paling penting dari sudut pandang Imam; video pidato Hujjatul Islam wal Muslimin Syekh Abdullah Daqqaq dalam webinar ini dengan teks terjemahan bahasa Persia tersedia di bawah ini.

Teks pidato Syekh Daqqaq adalah sebagai berikut:

Bismillahirrahmanirrahim

Allah swt telah berfirman dalam surah At-Taubah ayat 3:

وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ

Suatu maklumat dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.

Menurut Imam Khomeini (qs), haji tidak ada artinya tanpa berlepas diri dari kaum musyrik. Ada akad positif dan akad negatif. Anda mengucapkan "La ilaha illallah". Ini adalah akad negatif yang mengingkari keilahian selain Allah, dan ada akad positif yaitu Allah, artinya Anda percaya pada keberadaan satu-satunya Tuhan, dan bersamaan dengan itu ada hal negatif yang mengingkari keilahian selain Allah swt. Haji juga merupakan akad positif dan itu adalah ketaatan kepada Allah saja. Mengelilingi Bait Allah dan menyembah Allah saja; ini adalah akad positif dan ada juga akad negatif, yaitu pantangan menyekutukan Allah dan berlepas diri dari kaum musyrik.

Imam Khomeini berkata: Berpegang pada akad positif dalam haji, meskipun mengabaikan akad negatif, tidaklah memiliki makna atau arti penting. Haji memiliki akad positif, sebagaimana disebutkan: “Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah” (QS. Al-Baqarah: 158) dan “dan melakukan tawaf di sekeliling al-Bait al-‘Atīq (Baitullah)” (QS. Al-Hajj: 29). Makna akad positif di sini adalah tawaf mengelilingi Baitullah, perjalanan antara Safa dan Marwah, wukuf di Arafah, Masy’ar al-Haram, dan Mina, serta menyembelih hewan kurban; semuanya itu adalah hal-hal positif. Yaitu menyembah satu Tuhan yang tiada sekutu bagi-Nya, dan ada pula akad negatif, yaitu mengingkari keilahian selain Allah, mengingkari kemusyrikan dan menyekutukan Allah swt, serta berlepas diri dari orang-orang musyrik.

Oleh karena itu, dalam pemikiran Imam Khomeini (qs), memisahkan aspek negatif dari aspek positif haji tidak ada artinya. Oleh karena itu, haji merupakan kewajiban ilahi, ibadah, dan politik yang tidak dapat dipisahkan, dan dimensi positif serta aspek ibadahnya tidak dapat dipisahkan dari dimensi politiknya serta pernyataan berlepas diri dari kaum musyrik. Ada sebuah riwayat dari Nabi Muhammad (saw) yang mengatakan: “Pergilah haji dan umrah agar kalian tetap sehat dan biaya keluarga kalian terjamin.”

Dalam riwayat ini, Rasulullah saw menyebutkan manfaat duniawi dari haji dan umrah. Pertama, kesehatan jasmani. Kedua, nafkah yang cukup. Maka barangsiapa yang melaksanakan haji dan umrah secara rutin, maka nafkahnya terjamin dan kesehatan jasmaninya pun terjamin. Hal ini jika dilihat dari segi manfaat duniawi. Namun jika dilihat dari segi manfaat akhirat, haji merupakan salah satu dari lima rukun agama. Islam dibangun atas lima hal: Salat, puasa, zakat, haji, dan wilayah. Kita tidak pernah diseru seperti halnya wilayah.

Ada pula riwayat yang senada dari Imam Baqir (as) dalam kitab Ushul al-Kafi. Oleh karena itu, barangsiapa yang menunaikan haji, pertama-tama ia akan memperoleh manfaat duniawi seperti kesehatan dan rezeki yang kekal, dan kedua, ia akan memperoleh manfaat akhiratnya karena ia telah menegakkan agamanya, dan haji merupakan salah satu rukun agama dan Islam. Allah swt berfirman: (Mereka berdatangan) supaya menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka” (QS. Al-Haji: 28).

Oleh karena itu, Alquran telah menjelaskan dengan gamblang bahwa haji memiliki manfaat. Allah swt berbicara kepada bapak para nabi, Ibrahim Khalil, dan berfirman:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ، لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

“(Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh)”. (QS. Al-Hajj: 27)

Oleh karena itu, haji memiliki manfaat dan tujuan, yaitu manfaat dunia dan akhirat. Di antara manfaat dunia adalah persatuan dan solidaritas umat Islam. Allah swt berfirman: “Dan berpegang teguhlah kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103). Dan Allah swt juga berfirman: “Sesungguhnya ini (agama tauhid) adalah agamamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu. Maka, sembahlah Aku”. (QS. Anbiya: 92)

Haji merupakan perwujudan persatuan umat Islam yang paling kuat. Haji menunjukkan kekuatan, persatuan, dan keteguhan umat Islam dalam melawan arogansi global. Karena itu, wajib hukumnya untuk menyatakan berlepas diri dari kaum musyrik. Allah Swt telah berfirman dalam Kitab-Nya yang Mulia di surah At-Taubah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.” (At-Taubah: 3)

Oleh karena itu, semua amalan haji memiliki falsafah tertentu. Ketika kita menyembelih seekor kambing pada tanggal 10 Dzulhijjah dan Idul Adha, kita teringat bahwa Ibrahim (as) ingin menyembelih putranya, Ismail dan Allah swt berfirman: “Kami tebus anak itu dengan seekor domba sembelihan yang besar”. (QS. As-Saffat: 107) Demikianlah kita menyembelihnya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Ada banyak falsafah haji dan para jemaah haji menjalaninya dari waktu ke waktu untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

Maka haji mengajarkan kita tentang ketundukan dan keridhaan. Ada budaya ketundukan dan budaya yang lebih dalam daripada sekadar keridhaan. Haji mengajarkan kita tentang ketaatan pada tahap pertama, ketundukan pada tahap kedua, dan keridhaan pada tahap ketiga dengan ketetapan dan takdir ilahi. Inilah yang terwujud di Karbala, ketika Imam Husein (as) berkata di dataran Karbala: “Ya Allah, aku sabar atas ketetapan-Mu. Tidak ada Tuhan selain Engkau sampai Engkau ridha. Jika ini menyenangkan-Mu, ambillah sampai Engkau ridha”. Maka haji mengajarkan kita tentang ketundukan, pengabdian, dan keridhaan.

Ada beberapa syarat yang disebutkan sebagai syarat umum taklif: baligh, berakal, dan Islam. Ketiga syarat ini berlaku dalam semua cabang agama seperti salat, puasa, dll. Akan tetapi, orang yang berniat untuk menunaikan ibadah haji harus memiliki sarana yang sah. Allah swt berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

"(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana". (QS. Ali Imran: 97) Yang dimaksud sarana adalah bekal dan rezeki yang cukup untuk berangkat dan pulang serta berinfak untuk perjalanan haji. Oleh karena itu, haji tunduk pada syarat umum kewajiban Islam, yaitu baligh, berakal, dan Islam, dan syarat khusus, seperti kemampuan.

Semoga Allah memberikan keberhasilan kepada semua orang dalam melakukan apa yang Dia cintai dan ridhoi, dan semoga salam dan berkah Allah senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya yang suci. (HRY)

 

4285958

Kunci-kunci: Cendekiawan ، bahrain ، Webinar ، iqna ، haji ، pemikiran ، imam khomeini ra
captcha