Menurut Iqna, tanggal 24 Dzulhijjah adalah hari peringatan hari Mubahalah Nabi Muhammad saw dengan umat Nasrani Najran, ketika umat Nasrani mengajak Nabi Islam (saw) untuk bermubahalah.
Mubahalah adalah permohonan laknat dan kutukan Ilahi untuk membuktikan kebenarannya dan terjadi antara dua pihak yang masing-masing mengaku benar.
Mubahalah Nabi (saw) dengan umat Nasrani Najran merupakan salah satu peristiwa era awal Islam yang dianggap sebagai tanda kebenaran dakwah Nabi Muhammad saw. Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi (saw) dan Ahlulbait (as) dalam Mubahalah, yaitu Imam Ali (as), Fatimah (as) dan al-Hasan (as) dan al-Husein (as).
Menurut sumber tersebut, setelah berdebat dengan umat Nasrani Najran dan tidak berimannya mereka, Nabi (saw) menawarkan Mubahalah dan mereka menerimanya. Namun pada hari yang dijanjikan, umat Nasrani Najran, setelah mengetahui bahwa Nabi (saw) membawa serta anggota keluarganya, menolak untuk bermubahalah.
Ayat 61 surah Ali Imran berbicara tentang peristiwa Mubahalah dan dikenal dengan ayat Mubahalah. Kaum Syi'ah meyakini bahwa dalam ayat Mubahalah, Imam Ali (as) dianggap sebagai ruh dan jiwa Nabi (saw), oleh karena itu mereka menganggap ayat ini sebagai salah satu keutamaan Imam Ali (as). Peristiwa ini diriwayatkan dalam sumber-sumber Syiah dan Sunni.
Kantor Berita Baratha Irak telah menganalisis dimensi peristiwa Mubahalah dalam catatan berjudul “Mubahalah dan Perang Lunak”, yang diterjemahkan sebagai berikut:
“Mubahalah” berasal dari kata Bahala, dan Bahala secara harfiah berarti mengesampingkan sesuatu dan tidak memperhatikannya. Pada hari Mubahalah, umat Kristiani Najran meminta Mubahalah kepada Nabi Islam (saw), dan beliau, bersama Imam Ali (as), Fatimah Zahra (as), Imam Hasan dan Imam Husein (as), hadir di tempat yang ditunjuk untuk bermubahalah.
Tokoh-tokoh Kristiani ketika melihat Rasulullah saw bersama keluarganya mengatakan, jika tokoh-tokoh tersebut memohon kepada Allah swt untuk menghancurkan gunung tersebut, pasti Dia akan mengabulkan doanya. Oleh karena itu, umat Nasrani Najran tidak bermubahalah dengan mereka dan berdamai dengan Nabi dan keluarganya.
Setelah peristiwa ini, turunlah ayat Mubahalah, dan Allah swt berfirman:
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ العِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran: 61)
Jika kita mempelajari peristiwa ini lebih mendalam, kita akan menemukan bahwa soft power dapat berhasil dengan baik berdasarkan kata-kata baik dan dialog dengan kekuatan keras (kekerasan) lainnya di bidang penguatan barisan dan mencapai kemenangan atas ekstremis dan radikalis.
Masalah ini dapat diselidiki dalam dua aspek;
Pertama: Mengungkap kaum radikal dan ekstremis; karena percakapan yang tenang dan logis menyingkap front mereka dan menyingkirkan mereka. Sebab mereka tidak mempunyai senjata akal dan perkataan yang baik untuk dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua: kepastian kemenangan atas kelompok ekstremis; karena mengekspos mereka menghilangkan kesempatan untuk memperluas dan memutus tali yang telah mereka tarik menuju tindakan baru.
Namun tujuan Rasulullah saw menerima tantangan ini adalah, pertama, kepercayaannya kepada Allah, kedua, kepercayaan pada dirinya sendiri, kemudian kepercayaan pada rombongan dan keluarganya, dan langkah keempat, keyakinan pada kemampuannya dalam meyakinkan pihak lain.
Oleh karena itu, senjata Rasulullah saw dalam peristiwa ini adalah dengan memanfaatkan secara optimal apa yang sekarang dikenal sebagai soft power. (HRY)