Langkah Ouwehand sejatinya sederhana, sebuah isyarat visual untuk mengingatkan publik bahwa di Gaza, ribuan nyawa melayang akibat genosida yang dibiarkan dunia internasional. Namun, simbol kemanusiaan itu dianggap ancaman bagi mereka yang ingin menjaga status quo dan membungkam solidaritas.
Martin Bosma, Ketua Parlemen, bersikukuh bahwa aturan “netralitas” harus ditegakkan. Ia bahkan mengancam tak akan memberi Ouwehand kesempatan berbicara jika tidak mengganti pakaian. Sebuah sikap yang memperlihatkan standar ganda: ketika simbol Palestina dianggap tidak netral, sementara simbol politik kanan yang pernah ia kenakan seakan-akan bebas dari aturan.
Esther Ouwehand Anggota Parlemen Belanda Pakai Baju Bendera Palestina
Tak tinggal diam, Ouwehand memilih cara lain. Ia kembali ke ruang sidang dengan blus bergambar semangka -ikon budaya yang sejak lama digunakan rakyat Palestina untuk menandingi upaya pelarangan bendera mereka. Dengan langkah itu, ia membuktikan bahwa suara solidaritas tidak mudah dipadamkan, meski berusaha dibatasi di ruang-ruang resmi kekuasaan.
Peristiwa ini kembali memperlihatkan betapa berat perjuangan menyuarakan Palestina di parlemen Barat. Solidaritas kerap dicap tidak netral, padahal diamnya lembaga politik terhadap kejahatan kemanusiaan justru adalah keberpihakan paling telanjang. (HRY)
Sumber: arrahmahnews.com