IQNA

Konsep Etika dalam Alquran/ 23

Faktor Utama Peningkatan Manfaat

13:25 - August 29, 2023
Berita ID: 3478847
TEHERAN (IQNA) - Dengan berlalunya tahun-tahun panjang dalam hidup kita, timbul pertanyaan bagaimana kita dapat meningkatkan nikmat Allah swt dalam hidup kita?

Salah satu persoalan terpenting dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai dampak besar terhadap kehidupan sehari-hari baik secara psikologis maupun spiritual adalah persoalan rasa syukur. Syukur atas nikmat berarti berterimakasih dan mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada seorang hamba. Dan masalah ini dimungkinkan baik melalui rasa syukur yang tulus maupun ucapan terima kasih secara lisan.

Dalam Alquran, Allah memandang dampak rasa syukur dalam kehidupan manusia sangat penting, sehingga dengan melakukan perbuatan tersebut seseorang dapat mempersiapkan landasan nikmat lainnya. Hasilnya, nikmat semakin bertambah

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu”. (QS. Ibrahim: 7)

Menurut ayat ini dan ayat lainnya, rasa syukur mempunyai dampak yang besar terhadap hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia, yang masing-masing contohnya disebutkan:

  1. Pengaruh syukur terhadap hubungan manusia dengan Tuhan: Seseorang yang memuji dan mensyukuri nikmat Tuhan atas nikmatnya di depan umum menyatakan kepada Tuhannya bahwa aku layak mendapatkan nikmat yang lebih, karenanya Tuhan menambah nikmatnya. Inilah sebabnya mengapa Imam Ali (as) mengatakan:

بِالشُّكْرِ تَدُومُ النِّعَمُ

“Melalui ucapan syukurlah nikmat-nikmat itu bertahan lama”.

  1. Pengaruh syukur dalam hubungan antar manusia: Sebagaimana dianjurkan mensyukuri nikmat Allah, dianjurkan juga mensyukuri kebaikan manusia. Jika seseorang menganggap dirinya berterima kasih kepada masyarakat, maka wajar jika empati dalam diri masyarakat akan meningkat dan masyarakat tersebut dapat terselamatkan dari kejadian apapun. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Ridha (as) disebutkan bahwa orang yang tidak mensyukuri makhluk belum bisa mensyukuri sang pencipta:

مَنْ لَمْ يَشْكُرِالْمُنْعِمَ مِنَ الَمخْلُوقينَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ عَزّوجل

“Barang siapa yang tidak bersyukur kepada pemberi nikmat dari antara makhluk, maka ia belum bersyukur kepada Allah swt”.

Selain poin-poin tersebut, Allah telah memperkenalkan syukur sebagai hal yang bermanfaat bagi manusia dalam ayat lainnya:

وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. luqman: 12)

Dalam bahasa Arab, kata kerja bentuk sekarang (mudhari’) menunjukkan kelanjutan dan kesinambungan dalam suatu tindakan, sementara kata kerja bentuk lampau (madhi) tidak memiliki makna seperti itu. Perlu dicatat bahwa bersyukur disebut sebagai kata kerja bentuk sekarang, sementara kekufuran dan ketidakbersyukuran disebut sebagai kata kerja bentuk lampau. Ini menunjukkan bahwa dalam perjalanan evolusi dan kemajuan, kelanjutan dalam bersyukur itu adalah hal penting, sementara satu momen dan satu tindakan ketidakbersyukuran berakibat buruk dan menyakitkan. Selain itu, dalam ayat ini, dua sifat, yaitu “Ghaniyyun dan Hamid” (Maha Kaya dan Terpuji) ditekankan, sementara dalam ayat lain, dua sifat “Ghaniyyun dan Karim” (Maha Kaya dan Maha Mulia) ditekankan. Perbedaan ini mungkin mengindikasikan bahwa Tuhan senantiasa kaya dan tidak memerlukan syukur dari makhluk-Nya, tetapi itulah makhluk-Nya yang melalui tindakan bersyukur mereka menemukan lebih banyak kemurahan dari-Nya. (HRY)

Kunci-kunci: Alquran  ، Syukur ، Nikmat
captcha