Tulisan yang sangat mencerahkan oleh Aswar Hasan, salah satu Dosen Fisipol Universias Hasanuddin (Unhas) yang menjelaskan konflik Sunni–Syiah dibalik perang Iran Vs Israel.
Perang Iran-Israel memanas. Media internasional menggambarkan ketegangan tersebut sebagai pertarungan antara dua kekuatan besar regional.
Kata Dr. Ali Shariati, cendekiawan Iran yang bermazhab Syiah, bahwa “Syiah dan Sunni adalah laksana dua sayap burung yang sama. Jika satu dipatahkan, umat Islam takkan bisa terbang”.
Sudah cukup lama kita bertengkar. Saatnya menyembuhkan luka sejarah, menutup telinga dari bisikan setan-setan politik internasional, dan bersatu menghadapi musuh sejati: penjajahan Israel, kapitalisme global, dan kezaliman dalam negeri.
Umat Islam bisa berbeda, tetapi tak boleh terpecah. Karena musuh sejati tidak pernah memilih mazhab: mereka hanya melihat apakah kita bersatu atau tidak
Iran dengan ideologi Syiah revolusionernya, dan Israel dengan kekuatan militer serta lobi internasionalnya.
Persatuan Sunni-Syiah
Namun, di balik riuhnya narasi konflik tersebut, ada satu isu yang sempat mengganggu, yaitu perpecahan Sunni–Syiah yang terus direproduksi dan dimanfaatkan sebagai alat pecah belah umat Islam.
Tak bisa disangkal, perbedaan antara Sunni dan Syiah adalah bagian dari sejarah Islam yang panjang dan penuh luka. Sejak wafatnya Rasulullah ﷺ, umat Islam terpecah dalam menentukan kepemimpinan.
Berawal di Tsaqifah, Memuncak di Karbala
Ketika Nabi wafat, sebagian sahabat berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah untuk memilih pemimpin. Akhirnya, Abu Bakar dibaiat sebagai khalifah pertama. Namun sebagian sahabat, khususnya dari kalangan Ahlul Bait, berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib lebih berhak memimpin berdasarkan peristiwa Ghadir Khum.
Ghadir Khum adalah sebuah tempat di antara Mekkah dan Madinah, tempat Rasulullah ﷺ berhenti dalam perjalanan pulang dari Haji Wada’ (Haji Perpisahan) pada tahun 10 Hijriah.
Di kalangan Syiah, peristiwa Ghadir Khum dianggap sebagai isyarat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah penerus atau khalifah setelah Nabi Muhammad saw:
Di tempat itu, Nabi bersabda “Barang siapa yang aku adalah mawla (pemimpinnya), maka Ali adalah mawla-nya. Ya Allah, tolonglah siapa yang menolongnya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Hadis ini, dinilai hasan oleh banyak ulama.
Sahabat dalam menafsirkan hadis tersebut, berpendapat bahwa proses terpilihnya Abu Bakar adalah penyimpangan terhadap wasiat Nabi di Ghadir Khum. Sementara bagi Sunni, pemilihan Abu Bakar adalah hasil ijtihad dan diterima oleh umat.
Puncak konflik tersebut, pada saat Husain bin Ali menolak membaiat Yazid bin Mu’awiyah yang dianggap tiran.
Saat menuju Kufah, ia dan rombongannya dicegat dan dibantai pasukan Umayyah di Karbala. Husain gugur dalam keadaan kehausan, kepalanya dipenggal.
Peristiwa ini menjadi simbol kezaliman terhadap Ahlul Bait bagi Syiah, dan tragedi besar dalam sejarah Islam bagi Sunni.
Dari situlah benih perpecahan tumbuh menjadi cabang-cabang teologi, fiqih, bahkan politik yang berbeda.
Namun perbedaan ini, pada dasarnya, bukan perbedaan agama, melainkan perbedaan ijtihad politik dan sejarah, sebagaimana ditegaskan oleh banyak cendekiawan Muslim lintas mazhab.
Menguntungkan Israel
Perselisihan Sunni–Syiah merupakan luka sejarah yang terus menerus diungkit dan dipertajam. Padahal, dalam banyak momen sejarah, Sunni dan Syiah pernah bersatu melawan musuh bersama, seperti pada masa Perang Salib dan penaklukan Mongol.
Bahkan di era kontemporer, Imam Khomeini pernah menyerukan persatuan umat Islam di Hari Quds Internasional, dan Syaikhul Azhar Syekh Mahmud Syaltut mengakui mazhab Ja’fari (Syiah) sebagai mazhab sah dalam Islam.
Namun luka lama ini tak pernah dibiarkan sembuh. Ia terus dijadikan alat provokasi.
Dalam hal ini, peran musuh eksternal umat Islam -terutama Zionis Yahudi- yang sangat signifikan terutama dengan strategi “Divide et Impera” Zionis Yahudi.
Zionisme sebagai ideologi penjajahan modern menyadari bahwa kekuatan terbesar yang bisa menggoyahkan dominasi mereka adalah kesatuan umat Islam. Karena itu, strategi memecah belah menjadi senjata utama.
Henry Kissinger seorang dari keluarga Yahudi, diplomat, ilmuwan politik, berpengaruh dalam kebijakan luar negeri dan pernah menjadi Menlu AS dan menjadi tokoh lobi Yahudi terkemuka, berkata, “Jika ingin menguasai dunia Islam, pecah belahlah mereka dalam urusan akidah dan sejarahnya.” Inilah yang terjadi dalam konflik di Irak, Suriah, Bahrain, dan Yaman.
Perang-perang itu bukan semata konflik Sunni–Syiah, tetapi konflik geopolitik yang disulut oleh kepentingan Barat dan Israel, lalu dibalut dalam bungkus sektarian.
Dalam setiap konflik antara Syiah dan Sunni, yang paling diuntungkan adalah Israel dan sekutunya.
Ketika Saudi dan Iran berseteru, Palestina terlupakan. Ketika Syiah dan Sunni saling menuduh kafir, Yerusalem dirampas.
Ketika umat Islam terbelah dalam politik mazhab, dan saling perang perusahaan senjata Yahudi menangguk untung.
Ironisnya, umat Islam yang berbeda madzhab ini justru memiliki banyak kesamaan dalam fondasi akidah: Beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan Kitab-Nya; melaksanakan shalat, puasa, dan haji; bahkan mengharamkan zina, riba, dan pembunuhan.
Tapi kesamaan itu terkubur oleh politik kebencian yang terus didengungkan.
Saatnya Bersatu
Kini saatnya umat Islam, baik Sunni maupun Syiah, membuka mata, bahwa perpecahan tersebut tidak bakal menguntungkan siapa pun kecuali musuh bersama yaitu Zionisme internasional.
Kita harus kembali kepada prinsip ummatan wahidah sebagaimana diajarkan Rasulullah ﷺ dan ditekankan dalam Alquran.
Umat Islam tak boleh tertipu dengan narasi yang memelihara kebencian sektarian.
Kata Dr. Ali Shariati, cendekiawan Iran yang bermazhab Syiah, bahwa “Syiah dan Sunni adalah laksana dua sayap burung yang sama. Jika satu dipatahkan, umat Islam takkan bisa terbang”.
Sudah cukup lama kita bertengkar. Saatnya menyembuhkan luka sejarah, menutup telinga dari bisikan setan-setan politik internasional, dan bersatu menghadapi musuh sejati: penjajahan Israel, kapitalisme global, dan kezaliman dalam negeri.
Umat Islam bisa berbeda, tetapi tak boleh terpecah. Karena musuh sejati tidak pernah memilih mazhab: mereka hanya melihat apakah kita bersatu atau tidak. Wallahu a’lam bisawwab. (HRY)
Sumber: arrahmahnews.com