Menurut Iqna mengutip Al Jazeera, dalam serangan yang digambarkan sebagai yang paling berdarah sejak dimulainya perang di Sudan, sebuah pesawat tak berawak milik Pasukan Dukungan Cepat menewaskan puluhan warga sipil kemarin lusa, 19 September, saat mereka sedang melaksanakan salat subuh di dalam sebuah masjid di lingkungan al-Darja al-Aula di El Fasher, ibu kota negara bagian Darfur Utara di bagian barat negara itu.
Perdana Menteri Sudan mengecam keras serangan pesawat nirawak terhadap sebuah masjid di El Fasher, menekankan bahwa tindakan segera harus diambil untuk melindungi nyawa warga sipil dan melindungi tempat-tempat ibadah dari segala bentuk kekerasan. Ia menegaskan kembali bahwa serangan terhadap masjid El Fasher merupakan kejahatan yang menyasar semangat keagamaan warga Sudan.
Perdana Menteri Sudan mendesak otoritas keamanan dan peradilan untuk segera meluncurkan penyelidikan atas insiden tersebut dan mengadili siapa pun yang terbukti terlibat dalam serangan di Masjid Al-Fasher.
Ia menekankan bahwa pemerintah Sudan akan mengambil semua langkah hukum untuk memastikan kejahatan semacam itu tidak terulang.
Warga di lingkungan al-Darja al-Aula terpaksa menguburkan puluhan jenazah jamaah di halaman masjid yang menjadi sasaran.
Menurut sumber lokal dan lapangan, keputusan untuk menguburkan jenazah para syuhada bukanlah pilihan, melainkan keharusan akibat blokade udara kota oleh drone, yang mencegah warga mengakses pemakaman umum.
Menurut Kementerian Kesehatan Darfur Utara, jumlah korban tewas telah melampaui 70 orang, dan kementerian mengonfirmasi bahwa jumlah tersebut kemungkinan bertambah karena keberadaan jenazah di bawah reruntuhan dan sulitnya mengidentifikasi beberapa di antaranya.
Ia menjelaskan bahwa pemakaman mereka di dalam masjid dilakukan setelah pemakaman umum menjadi target militer dan drone kini mengebom setiap gerakan ke arah mereka. Sumber-sumber lokal menekankan bahwa waktu pengeboman, yang bertepatan dengan rakaat salat kedua, turut menyebabkan tingginya korban jiwa karena para jamaah sedang bersujud dan berlutut, sehingga mereka tidak dapat berlindung atau melarikan diri.
Video yang diunggah di media sosial menunjukkan pemandangan mengerikan dari dalam masjid, dengan dinding retak, mayat-mayat berserakan di antara reruntuhan, dan sajadah berlumuran darah. "Banyak mayat yang belum teridentifikasi dan beberapa masih tertimbun reruntuhan," ujar Khadija Musa, direktur jenderal Kementerian Kesehatan di Darfur Utara, kepada Al Jazeera dalam sebuah pernyataan.
“Pemandangan ini tidak berbeda dengan pembantaian yang kita saksikan di Darfur beberapa dekade lalu, tetapi dengan cara yang lebih mematikan dan tepat sasaran,” ungkapnya.
Penodaan Jenazah
Menurut para pengamat, apa yang terjadi di masjid di lingkungan Al-Darja Al-Aula merupakan penodaan atas dua alasan: Pertama, dengan menargetkan jamaah di dalam rumah Allah, dan kedua, dengan mengubah masjid menjadi kuburan massal.
Selama dua tahun, pasukan tentara Sudan dan pemberontak Pasukan Dukungan Cepat telah bertempur memperebutkan kekuasaan di negara yang luas dan miskin ini. Milisi telah mengepung El-Fasher, ibu kota negara bagian Darfur Utara, sejak awal konflik. (HRY)