Tidak diragukan lagi, salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar, setelah kebutuhan biologis seperti air dan makanan, adalah kebutuhan akan cinta. Manusia pada dasarnya membutuhkan cinta dan memiliki kecenderungan cinta.
Cinta adalah faktor relasi dan menciptakan solidaritas antar manusia, dan jika tidak ada maka tidak akan terjalin hubungan antar manusia. Tidak ada orang yang akan memikul beban tanggung jawab dan kehidupan orang lain. Tidak akan ada kesetaraan dan pengorbanan diri.
Di sisi lain, kekuatan cinta kasih dalam pendidikan agama juga merupakan kekuatan transformatif yang apabila dimanfaatkan dengan baik dan secukupnya akan memberikan pengaruh yang luar biasa bagi terwujudnya pendidikan yang sempurna. Dan pendidikan yang sebaik-baiknya diwujudkan dengan cara ini. Allah swt telah menghiasi nabi tercintanya dengan metode cinta kasih dan beliau sukses dalam pendidikan agama dan umat dengan metode tersebut.
Tentu saja hal ini tidak boleh dilupakan bahwa pentingnya metode cinta dalam pendidikan karena cinta itu mendatangkan ketaatan dan menimbulkan persamaan dan persahabatan. Sejatinya, ada hubungan antara cinta dan ketaatan, dan dengan munculnya cinta, ketaatan pun memperoleh warna.
Dalam artian, orang yang tertanam cinta dalam hati seseorang ia menjadi taat dan mengikutinya serta tidak membangkang pada kemauannya. Oleh karena itu, tidak ada metode seperti metode cinta yang efektif dalam mendidik seseorang, dan metode pendidikan yang paling bermanfaat adalah yang efektif dengan kekuatan cinta. Kekuatan cinta merupakan kekuatan yang besar dan efisien dalam hal pendidikan, dan pendidikan yang terbaik adalah mewujudkannya dengan cara demikian.
Nabi Musa (as) begitu mencintai umatnya sehingga ia berseteru dengan pemerintahan pada saat itu, yang bukanlah pemerintahan yang lemah, untuk menyelamatkan mereka. Setelah menyelamatkan Bani Israel, ia bersikap baik dan kasih sayang terhadap pencarian alasan dan penganiayaan mereka.
Perilaku penuh kasihnya tercermin dalam Alquran:
Sejatinya, salah satu cara penerapan metode ini adalah dengan cara sang pelatih dan pendidik berbicara secara terbuka tentang hubungan intim dengan sang terdidik (anak didik): Seperti frasa (Ya Qaumi: Wahai umatku) yang berkali-kali muncul di awal-awal kalimat Nabi Musa (as), atau penggunaan frasa (Rabbi wa Rabbukum, Tuhanku dan Tuhan kalian) sebagai pengganti kata "Allah" dan "Rabb" yang semuanya mengacu pada nasib bersama kedua belah pihak dan menciptakan suasana saling pengertian dan simpati. Contoh metode ini disebutkan dalam surah Taha.
فَرَجَعَ مُوسى إِلى قَوْمِهِ غَضْبانَ أَسِفاً قالَ یا قَوْمِ أَ لَمْ یَعِدْکُمْ رَبُّکُمْ وَعْداً حَسَناً أَ فَطالَ عَلَیْکُمُ الْعَهْدُ أَمْ أَرَدْتُمْ أَنْ یَحِلَّ عَلَیْکُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّکُمْ فَأَخْلَفْتُمْ مَوْعِدِی
“Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: "Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, dan kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?". (QS. Taha: 86)