IQNA

Kecaman Global atas Larangan Hijab di Olimpiade Paris

6:19 - October 07, 2023
Berita ID: 3479028
PARIS (IQNA) - Prancis telah melarang penggunaan hijab bagi para atlet yang berpartisipasi dalam Olimpiade Paris, dan keputusan ini, seperti tindakan pemerintah Prancis lainnya terhadap umat Islam di negara tersebut, telah menimbulkan gelombang kecaman.

Menurut Iqna, mengutip Anadolu, keputusan Prancis untuk melarang atletnya mengenakan hijab saat negara itu bersiap menjadi tuan rumah Olimpiade pertamanya dalam 100 tahun terakhir adalah kasus terakhir larangan pemerintah yang berujung pada kecaman dari negara-negara Islam dan negara lain di kancah internasional.

Prancis, yang 10 persen dari 67 juta penduduknya beragama Islam, kembali menjadi sorotan dengan keputusan terbarunya yang melarang atletnya mengenakan hijab di Olimpiade.

Menteri Olahraga Prancis Amelie Oudea-Castera mengumumkan dalam sebuah program TV bahwa atlet wanita Muslim Prancis tidak boleh mengenakan hijab di Olimpiade.

Keputusan ini memicu reaksi keras dan menghidupkan kembali perdebatan mengenai pelanggaran hak asasi manusia.

Paris akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas dari 26 Juli hingga 11 Agustus 2024.

Federasi Olahraga Solidaritas Islam, yang mencakup negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), menyatakan keprihatinan mendalamnya pada 2 Oktober mengenai keputusan pemerintah baru-baru ini yang melarang atlet Prancis mengenakan hijab di Olimpiade Paris mendatang.

Dalam pernyataannya, federasi menekankan bahwa larangan ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan, inklusivitas, dan penghormatan terhadap keragaman budaya yang menjadi landasan Olimpiade.

Hal ini terjadi setelah Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengumumkan pada tanggal 29 September bahwa tidak ada batasan dalam mengenakan hijab atau pakaian keagamaan atau budaya lainnya.

Sikap IOC dipuji oleh mantan Perdana Menteri Maroko Saad al-Din al-Othmani dan juru bicara Kantor Hak Asasi Manusia PBB Marta Hurtado.

Hurtado mengatakan dalam sebuah pernyataan: "Tidak seorang pun boleh mendikte apa yang harus atau tidak dikenakan oleh seorang wanita. Tindakan diskriminatif terhadap suatu kelompok ini dapat menimbulkan akibat yang merugikan."

Idris Al-Wahabi, Sekretaris Jenderal Delegasi Federasi Badan Keagamaan Islam Spanyol di Ceuta, Maroko, mengatakan bahwa keputusan Prancis tersebut dimaksudkan untuk memprovokasi umat Islam pada umumnya dan Maroko pada khususnya, mengingat bahwa Maroko adalah kelompok Muslim terbesar di Prancis.

Protes terhadap keputusan Prancis tidak terbatas pada institusi dan tokoh regional dan internasional, kritik dan kecaman terus berlanjut di media sosial X.

Penulis dan analis politik Yasser Al-Zaatari menggambarkan keputusan ini sebagai histeria terhadap hijab dan kekerasan terhadap umat Islam.

Aktivis politik lainnya menulis: “Presiden Prancis memerangi hijab di Prancis dengan dalih bahwa hijab bertentangan dengan sekularisme. Namun, dia tidak mempunyai masalah menghadiri liturgi kepausan. Persoalan Macron bukan pada agama, tapi secara spesifik pada Islam.”

Keputusan Prancis untuk melarang atlet perempuan mengenakan hijab bukanlah yang pertama, karena sudah ada keputusan sebelumnya yang menurut umat Islam Prancis bertujuan untuk membatasi umat Islam.

Pada bulan Agustus, Menteri Pendidikan Prancis Gabriel Atal memutuskan untuk melarang penggunaan abaya di sekolah, dengan alasan bahwa abaya adalah pakaian Islami yang melanggar hukum dan peraturan pemerintah. Keputusan ini merupakan salah satu larangan terakhir yang diberlakukan sejak tahun 2004. Saat itu, disahkan undang-undang yang melarang pemakaian simbol agama di sekolah umum.

Meskipun ada protes terhadap keputusan tersebut, pengadilan tertinggi Prancis pada tanggal 7 September menguatkan legalitas pelarangan abaya di sekolah. Pada bulan Juni, pengadilan ini mengkonfirmasi keputusan Federasi Sepak Bola Prancis yang melarang penggunaan hijab. (HRY)

 

 4173328

captcha