Menurut Iqna mengutip Pusat Informasi Palestina, Ziad Abhais, seorang peneliti masalah Quds, menegaskan bahwa larangan rezim Zionis terhadap jamaah Palestina untuk melakukan I'tikaf di dalam Masjid Al-Aqsa adalah tindakan yang melanggar praktik normal, dan bahwa I'tikaf sebelumnya diizinkan pada hari Kamis dan Jumat.
“Militer Zionis menggunakan pencegahan atau persetujuan untuk I'tikaf sebagai alat untuk menjalankan kedaulatan dan kendali mereka atas Masjid Al-Aqsa, dan pada tahun 2015, I'tikaf diizinkan di dalam masjid ini pada semua hari di bulan suci Ramadan. Karena kebijakan rezim Israel yang memberlakukan pembatasan dan tekanan pada tahun 2014 menyebabkan terjadinya pembakaran kantor polisi di tempat berkhlawat Junblati di halaman Masjid Al-Aqsa,” imbuhnya.
Serangan ini terjadi setelah 85.000 warga Palestina melaksanakan salat Isya dan Tarawih pada hari keenam bulan suci Ramadan di halaman Masjid Al-Aqsa, sementara militer Israel memberlakukan tindakan pengamanan ketat di jalan warga Palestina menuju kota Quds dan Masjid Al-Aqsa.
Otoritas Wakaf Islam di Quds mengumumkan bahwa lebih dari 80.000 jamaah melaksanakan salat Isya dan Tarawih di halaman Masjid Al-Aqsa pada Kamis malam, sebagian besar dari mereka adalah penduduk Quds yang diduduki dan wilayah yang diduduki pada tahun 1948.
Dengan tibanya bulan suci Ramadan, militer Israel telah mengerahkan lebih banyak pasukannya di kota Quds yang diduduki dan di sekitar Masjid Suci Al-Aqsa untuk mencegah jamaah Palestina menghadiri Masjid Al-Aqsa.
Gerakan perlawanan Islam Hamas pada gilirannya menyerukan penggunaan semua kapasitas selama bulan suci ini dan kehadiran yang luas di Masjid Al-Aqsa, termasuk duduk dan i’tikaf, sehingga malam dan siang di bulan suci ini dapat digunakan untuk melayani dan mendukung Masjid Al-Aqsa dan melawan musuh Zionis dan pemukim Zionis. (HRY)