Jalaluddin Muhammad Balkhi (604-672 H), seorang mistikus dan penyair ternama abad ketujuh, dalam konteks migrasi dan pendidikan, mengembangkan kepribadian yang menyinari dunia. Perjalanan intelektual ini dimulai dengan migrasi ayahnya, Sultan al-Ulama Baha al-Din Walad, dari Balkh ke Asia Kecil pada tahun 610 H. Di negeri itu, Rumi dididik pertama kali oleh ayahnya dan kemudian oleh Burhan al-Din al-Muhaqqiq al-Tirmidzi.
Namun, titik balik dalam hidupnya adalah pertemuannya dengan Shams Tabrizi, sebuah pertemuan yang membawa transformasi mendalam dalam diri Rumi sehingga mantan pengkhotbah dan guru tersebut meninggalkan mimbar dan beralih ke sima’ dan al-Wajd. Transformasi ini menandai dimulainya babak baru dalam hidupnya, yang berlanjut dengan murid-murid seperti Salahuddin Zarkub dan kemudian Hesamuddin Chalabi. Hesamuddin-lah yang meminta Rumi untuk mempersembahkan mahakarya mistik terbesarnya, Masnawi, kepada umat manusia.
Di antara karya-karya Rumi yang tersisa, Masnawi memiliki tempat yang luar biasa.
Dalam puisi ini, Rumi mengajak pembaca umum dan khusus dalam sebuah perjalanan. Ia sendiri dididik dalam naungan Alquran dan Islam, dan tujuan terbesarnya adalah menyebarkan agama Islam dan aturan-aturan hidup dalam bahasa yang sastrawi dan menarik. Pendidikan dan pelatihan dalam bentuk perumpamaan dan cerita dianggap sebagai metode pendidikan Rumi.
Landasan intelektual dan mental Maulana Jalaluddin Balkhi berakar pada ajaran Alquran dan tradisi keagamaan yang murni; namun, yang membedakan kepribadiannya adalah pemahamannya yang mendalam akan perlunya "perubahan perspektif" di era tempat ia hidup. Maulana telah menyadari bahwa bahkan agama Islam, sebagai wahyu terakhir dan paling suci, harus direnungkan dengan perspektif baru yang dinamis, sesuai dengan tingkat kesadaran dan kapasitas zamannya. Maulana menyampaikan ajarannya dalam format yang mampu menembus hati dan menjadi penentu zaman. Konsep-konsep seperti hidup berdampingan secara damai, cinta kasih dan welas asih, kesetaraan, dan pilar-pilar persatuan dan persaudaraan lainnya, yang kini disebut sebagai "dialog antar agama" dan "solidaritas manusia", telah terkristalisasi dalam ajarannya dengan berbagai cara dan dengan menggunakan perumpamaan serta kisah yang jelas, menarik, dan relevan.
Rumi memadukan konsep-konsep luhur ini dengan kreasi sastra dan bahasanya yang unik untuk membuat dampaknya lebih dalam dan lebih abadi. (HRY)