IQNA

IQNA:

Penghapusan Otonomi Kashmir dan Kemungkinan Pengulangan Tragedi Palestina

23:41 - August 26, 2019
Berita ID: 3473391
KASHMIR (IQNA) - Langkah pemerintah India untuk menghapuskan otonomi Kashmir dapat menjadi alasan untuk menekan dan menindas warganya dengan dalih ekstremisme dan penolakan hukum, serta meningkatkan kekhawatiran bahwa warga Kashmir akan menderita seperti nasib rakyat Palestina.

Menurut laporan IQNA, Kashmir adalah sebuah daerah berpenduduk Muslim di sebelah barat Himalaya, yang dalam hal peradaban, ras dan bahasa merupakan kelanjutan geografis dari Khorasan yang besar dan bersejarah.

Wilayah Kashmir, yang terletak di barat laut Semenanjung India, terdiri dari Jammu dan Kashmir yang dikuasai India, Gilgit – Baltistan dan Kashmir merdeka Pakistan, dan Aksai Chin yang dikuasai China.

Selama dekolonisasi dan revolusi India banyak faktor yang menyebabkan pembagian subbenua India dan ada ketidakpastian bahwa Kashmir harus bergabung pada Pakistan, atau ke India dan atau memiliki posisi yang sepenuhnya independen.

Pada Oktober, perang meletus antara India dan Pakistan, yang berlangsung hingga Januari 1949. Akhirnya, dengan mediasi PBB, kedua negara sepakat untuk gencatan senjata dan nasib Kashmir ditentukan oleh suara rakyat, tetapi referendum tidak pernah diadakan.

Setelah perang ini, Hari Singh Maharaja (gelar dan nama panggilan untuk Raja Besar) yang diperintah oleh pemerintah Inggris di Kashmir, menandatangani kontrak dengan Pemerintah India untuk menjadikan Kashmir sebagai wilayah otonom dan di bawah dukungan India. Artinya, dalam urusan pertahanan dan luar negeri, mengikuti India. Bahkan ini ditambahkan pada Pasal 370 dari Bab 11 Konstitusi India. Ini memberi Kashmir hak istimewa untuk mengklaim kemerdekaan kapan saja. Tetapi mayoritas warga Kashmir menentang aksesi ke India.

Saat terjadi gencatan senjata di tahun 1949, sekitar sepertiga dari tanah Kashmir, yang disebut Pakistan sebagai Kashmir merdeka, tetap menjadi milik Pakistan, dan pemerintah India menyatakan aneksasi resmi dari bagian yang dikendalikannya, Jammu dan Kashmir, ke tanah India pada tahun 1954.

Para pejabat Pakistan mengatakan Kashmir harus bergabung dengan Pakistan pada tahun 1947, karena sebagian besar penduduknya adalah Muslim. Tetapi para pejabat India memiliki pandangan yang berbeda dan percaya bahwa Kashmir adalah bagian dari India.

Penghapusan Otonomi Kashmir dan Kemungkinan Pengulangan Tragedi Palestina

India dan Pakistan telah berulang kali berperang terkait bagian ini, dan saat ini masing-masing dari dua tetangga mengendalikan sebagian dari wilayah tersebut. Setelah perang  tahun 1971, antara kedua negara terdapat garis perbatasan "de facto", yang disebut "garis kontrol", yang memisahkan wilayah dua negara tersebut.

Perdana Menteri India, Narendra Modi pada tanggal 4 Agustus mengumumkan pembatalan status otonom Jammu dan Kashmir dan mengakhiri pasal 6 Konstitusi India. Menurut keputusan itu, Jammu dan Kashmir akan dibagi menjadi dua distrik: Jammu dan Kashmir dengan parlemen lokal dan Ladakh tanpa parlemen lokal. Berdasarkan keputusan pemerintah India, pasal 4 konstitusi negara ini, kecuali untuk urusan pertahanan, luar negeri dan keuangan, menyerahkan sisa yurisdiksi Jammu dan Kashmir kepada parlemen lokal telah dihapus.

Dalam hal ini, penulis dan dosen Bangladesh dari pulau Bhola, menerbitkan sebuah artikel di Surat Kabar Aljazeera yang berjudul "Kashmir; Jannat al-Dunya al-Mal’unah (Kashmir, Surga Dunia yang terkutuk) mengupas situasi terbaru di Kashmir setelah langkah pemerintah India untuk menghapuskan otonominya.

Catatan itu berbunyi: Kekhawatiran dan kecemasan telah menyelimuti warga Kashmir dan sejak awal partai Hindu Bharatiya Janata, Perdana Menteri Narendra Modi, menempatkan orang-orang di daerah itu dalam keadaan putus asa.

Dalam kampanye pemilihannya, Modi telah berjanji untuk menghapuskan Pasal 370 konstitusi India mengenai otonomi Kashmir, dan menjadikan daerah itu sebagai salah satu provinsi bagiannya dan menolak yurisdiksinya untuk meletakkan undang-undang tanpa kebijaksanaan pemerintah pusat.

Hasilnya persis seperti yang dia minta, dan Modi mengumumkan penghapusan butir terkait otonomi Kashmir dalam konstitusional dan memenuhi janji yang telah dibuatnya.

Dia tidak merasa cukup dengan langkah itu dan mengirim ribuan pasukan keamanan India ke Kashmir dengan senjata dan amunisi-amunisi baru. Dia mengatakan ingin memadamkan api penghasutan di daerah itu dan untuk membungkam protes rakyat pejuang kawasan ini. Karenanya, ia telah menerapkan langkah-langkah keamanan yang ketat, termasuk larangan hilir mudik, pemutusan jaringan seluler, Internet dan jaringan sosial.

Penghapusan Otonomi Kashmir dan Kemungkinan Pengulangan Tragedi Palestina

Wilayah Kashmir telah dalam konflik selama tiga dekade karena kesuburan tanah, kelimpahan tanaman dan perbatasannya dengan India, Pakistan dan China serta menarik wisatawan dari seluruh dunia. Oleh karena itu, masing-masing dari tiga negara mengklaim Kashmir telah sepenuhnya dimasukkan ke dalam wilayahnya dan negara-negara ini sepenuhnya memenuhi syarat untuk memerintah wilayah tersebut.

Batas Geografis

Kashmir terletak di sebelah barat subbenua India dan antara Asia Tengah dan Asia Selatan dan secara historis dikenal sebagai daerah antara Pegunungan Himalaya dan Pegunungan Chah Bengal. Menurut geografi wilayah ini, Kashmir adalah sebuah wilayah pendudukan India, Pakistan, dan China, termasuk daerah-daerah seperti Jammu, Ladakh, Lembah Kashmir, Gilgit-Baltistan, Aksai Chin dan wilayah lainnya.

Rute Sejarah

Era Islam Kashmir dari abad pertama Hijriah, dan ketika Muhammad bin Qasim Saqafi mengambil alih kepemimpinan Sind pada tahun 90 H dan menghubungkan Kashmir ke wilayah tersebut. Setelah itu, Sultan Mahmud Ghaznawi menaklukkan Kashmir pada 407 H, dalam serangan ke India, setelah itu banyak orang di wilayah itu memeluk Islam.

Ibnu Atsir, seorang sejarawan abad ke-6 H, mengisyaratkan dalam bukunya, Al-Kamil fi al-Tarikh, bahwa Sultan Mahmud Ghaznawi mencapai Kashmir dalam perang dengan India dan mampu mengubah banyak warganya menjadi Islam. Setelah itu, kaisar Mughal, Jalaluddin Akbar menganeksasi Kashmir untuk dominasinya, dan pada 1578, Shah Mir, penguasa Muslim pertama Kashmir, memulai pemerintahan Islamnya di daerah tersebut.

Pasca Shah Mir, Muslim telah memerintah Kashmir selama lima dekade. Dari 1751 hingga 1820, rakyat Afghan mengambil kendali atas Kashmir dan menggulingkan Kashmir dari kekuasaan para penguasa Mughal dan menguasai kawasan ini selama 69 tahun. Pada tahun 1820, orang-orang Singh Punjab menaklukkan wilayah itu setelah mengusir orang-orang Afghanistan dari Kashmir dan memerintah selama 27 tahun.

Setelah pendudukan Kashmir oleh Singh Punjab, periode kolonial Inggris pun tiba, pada periode ini, Gulab Sigh menjadi penguasa Jammu Kashmir dan pemerintahannya berlangsung hingga 1947.

Berbagai Perang

Sejak saat itu, wilayah Kashmir telah menjadi tempat konflik, pembantaian, penangkapan, kekejaman dan kekerasan terhadap orang-orang di wilayah itu oleh pemerintah India.

Karena itu, kadang-kadang terjadi perang dan bentrokan sengit antara pasukan Pakistan dan India di daerah itu. Akan tentapi menurut konstitusi India, Kashmir memiliki kebebasan untuk bergabung dengan Pakistan atau India. Oleh karena itu, penguasa Kashmir, Hari Singh, pada saat penyusunan Konstitusi India memutuskan untuk menganeksasinya ke India meskipun ada ketidaksenangan sebagian besar Muslim Kashmir. Karena itu, warga Kashmir mencari perlindungan kepada pasukan Pakistan dan terjadi perang antara kedua negara besar, India dan Pakistan, pada tahun 1947.

Penghapusan Otonomi Kashmir dan Kemungkinan Pengulangan Tragedi Palestina

Perang, yang dimulai hanya dua bulan setelah kemerdekaan India dari Inggris, berlangsung dua tahun, kemudian pada bulan Agustus 1965, perang singkat lainnya atas Kashmir pecah antara Pakistan dan India.

Independensi dan Kemerdekaan Penuh

Fakta bahwa tidak ada yang dapat disangkal adalah bahwa banyak orang di Kashmir, 60% Muslim dan 6% Hindu dan 1% Buddha, tidak puas dengan kehidupan di bawah kekuasaan India dan menginginkan kemerdekaan, kebebasan atau bergabung dengan Pakistan. Karena itu kekerasan dan bentrokan telah dimulai sejak 1989, tetapi kekerasan ini terjadi kembali dengan kematian "Burhan Wani", seorang pemimpin gerakan Pembebasan dan Kemerdekaan Kashmir yang berusia 22 tahun, dan kematian 30 lainnya sebagai akibat dari bentrokan antara pasukan India dan rakyat Kashmir dalam acara pemakaman jenzah Burhan Wani di Srinagar.

Pada 2018, lebih dari 500 warga sipil Kashmir tewas dalam bentrokan itu, dimana ini adalah korban terbanyak warga Kashmir dalam satu dekade terakhir.

Apakah Perdamaian di Kashmir Akan Terealisasi?

Pertanyaan yang muncul bagi kita semua adalah apakah perdamaian akan terjadi dan keamanan akan tercapai bagi negara Kashmir, atau apakah ini tidak mungkin?

Analis politik yang adil percaya bahwa keputusan baru-baru ini oleh Perdana Menteri Narendra Modi dari India merupakan hambatan bagi realisasi keamanan dan perdamaian Kashmir yang dapat terjadi kapan saja dan pada kenyataannya merupakan paku kuat pada tubuh perdamaian Kashmir.

Paku di Tubuh Perdamaian 

Keputusan itu tidak lain adalah ketegangan, kegelisahan dan kekhawatiran bagi masyarakat Kashmir dan memungkinkan pemerintah Modi untuk bersikap keras dengan penduduk daerah tersebut dengan dalih ketidaktaatan dan ekstremisme. Demikian juga, keputusan pemerintah India untuk menghapuskan otonomi Kashmir dapat menjadi ranah untuk mengubah tenunan masyarakat wilayah tersebut dan menggantikan Muslim dengan Hindu.

Dengan semua itu, pembicaraan damai antara Kashmir dan India dimulai pada 2003 dan kedua negara sepakat untuk gencatan senjata setelah bertahun-tahun konflik dan kekerasan. Tetapi pembicaraan gagal dengan keputusan pemerintah India tentang negara Kashmir dan pelanggaran hak asasi manusia, dan India memberlakukan langkah-langkah keamanan yang ketat terhadap para demonstran dan pengunjuk rasa Kashmir.

Situasi Saat Ini

Situasi saat ini di Kashmir dan kondisi politiknya telah menjadi sumber keprihatinan dan kegelisahan semua pihak; pemuda Kashmir, pria, wanita dan anak-anak terus meneriakkan kebebasan di jalan-jalan dan menantang larangan hilir mudik yang diberlakukan oleh pasukan India.

Penghapusan Otonomi Kashmir dan Kemungkinan Pengulangan Tragedi Palestina

Bentrokan berdarah terus berlanjut antara pasukan keamanan dan rakyat Kashmir, yang sampai saat ini telah menyebabkan banyak orang mati dan terluka. Selain itu, pasukan keamanan India menangkap sejumlah besar warga Kashmir tanpa alasan yang valid.

Adapun yang menyebabkan negara Kashmir paling menderita dalam situasi saat ini adalah kemiskinan fatal dan kelaparan hebat yang mereka hadapi dalam menghadapi sanksi India. Jadi masalah Kashmir sama rumitnya dengan masalah Palestina dan tidak akan diselesaikan kecuali dengan pembebasan Kashmir sepenuhnya. 

PBB telah memutuskan pada tahun 1949 untuk mengadakan referendum bebas untuk menentukan nasib Kashmir, tetapi referendum belum terjadi sampai saat ini dan masalah kawasan ini semakin buruk.

 

http://iqna.ir/fa/news/3835802

captcha