Matahari terbenam pada hari kedelapan Muharram di padang pasir Karbala telah mewarnai cakrawala dengan warna keraguan dan kepastian. Saat pengepungan semakin ketat, debu padang pasir telah mengendap di hari esok sejarah. Pada hari kesembilan, Tasua muncul dari debu ini, hari yang sering terlihat dalam bayang-bayang kebesaran peristiwa Asyura dan dikenal sebagai pendahuluannya. Namun, apakah Tasua hanya sekadar pendahuluan yang tragis ataukah ia sendiri merupakan sekolah yang lengkap dan pelajaran yang berdiri sendiri bagi umat manusia di segala zaman? Terkait hal ini, Reza Mollazadeh Yamchi, seorang peneliti agama, telah memberikan catatan kepada Iqna Khorasan Razavi, yang dapat kita baca di bawah ini:
Masalah utama di sini adalah bahwa pandangan reduksionis terhadap Tasua menghalangi kita memahami pesan-pesan terdalamnya, yaitu “kesetiaan di tengah krisis” dan “pilihan sadar berdasarkan bashiroh.” Catatan ini berusaha untuk melampaui narasi belaka untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana pesan-pesan epistemologis dan sosial Tasua dapat ditafsirkan ulang sebagai model praktis di dunia saat ini yang penuh dengan keraguan dan krisis identitas.
Akar Qurani adalah kisah epik tentang kesetiaan, bashiroh, dan doa. Meskipun insiden Tasua merupakan peristiwa sejarah, tindakan dan perilaku para pahlawannya merupakan perwujudan konkret dan interpretasi praktis dari konsep-konsep dasar Alquran. Tasua adalah tempat terjadinya konfrontasi antara dua pandangan dunia yang berakar pada ayat-ayat suci:
* Setia pada Perjanjian (al-Wafā’ bil-‘Ahd): Inti dari Tasua adalah janji yang diberikan kepada pembawa bendera Karbala, al-Abbas bin Ali (as) dan saudara-saudaranya. Penolakan tegas mereka terhadap janji ini merupakan manifestasi dari ayat yang mulia “…menepati janji apabila berjanji …” (QS. Al-Baqarah: 177). Ini bukan sekadar kesetiaan emosional, melainkan kepatuhan terhadap perjanjian Allah dengan Imam dan bukti waktu, sebuah perjanjian yang tidak dapat ditandingi oleh keamanan lahiriah dan afiliasi kesukuan.
* Bashiroh dalam Fitnah (al-Bashiroh fi al-Fitnah): Alquran Suci selalu menyerukan kepada orang-orang beriman untuk memiliki bashiroh dan menghindari mengikuti ajaran-ajaran yang membabi buta. Tasua adalah hari penyaringan bashiroh. Dengan menolak surat jaminan aman, al-Abbas (as) menunjukkan bahwa “keamanan sejati” terletak di sepanjang poros kebenaran, bukan di tempat berlindung penguasa ketidakadilan, dan ini adalah bashiroh yang sama yang dirujuk dalam ayat “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (seluruh manusia) kepada Allah dengan bukti yang nyata …” (QS. Yusuf: 108)
* Mencari Pertolongan Melalui Doa dan Kesabaran: Puncak epistemologis Tasua terwujud dalam permintaan Imam Husein (as) untuk beristirahat sejenak di malam hari untuk berdoa, memohon, dan membaca Alquran. Sementara musuh menabuh genderang perang, Imam (as) mengubah perkemahannya menjadi pusat spiritual dan rohani. Tindakan ini merupakan interpretasi praktis dari ayat “Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat …” (QS. Al-Baqarah: 153). Ia mengajarkan kepada manusia bahwa dalam krisis material yang paling parah, senjata yang paling ampuh adalah koneksi ke sumber spiritual yang tidak ada habisnya.
Analisis dan Teori: Tasua, hari “pilihan terakhir,” lebih dari sekadar peristiwa historis dan “momen eksistensial.” Hari ini adalah hari penyelesaian argumen dan pemurnian terakhir, dan Tasua dapat dianalisis dari beberapa perspektif:
* Dari perspektif sosial-politik: Penolakan mandat adalah pernyataan politik yang kuat. Hal ini menolak logika “keamanan versus kepatuhan” yang menjadi dasar pemerintahan otoriter. Al-Abbas (as) menyatakan bahwa keamanan dan martabat hanya didefinisikan di bawah aturan hukum dan Aman selain itu tidak lebih dari sekadar jebakan. Pelajaran ini menjadi model bagi semua orang bebas di dunia terhadap godaan dan ancaman kekuatan yang menindas.
* Dari sudut pandang mistik dan spiritual: Jeda semalam untuk beribadah bukan sekadar taktik militer atau penundaan perang. Itu adalah "perjalanan spiritual yang intensif." Imam (as) dan para sahabatnya mempersiapkan seluruh diri mereka untuk pertemuan dengan Allah malam itu. Tasua mengajarkan kita bahwa persiapan untuk pengorbanan terbesar dicapai bukan dengan perlengkapan material tetapi dengan memurnikan jiwa dan memperdalam hubungan dengan Tuhan. Malam itu adalah Malam Qadar bagi kafilah Karbala.
* Jawaban atas Keraguan Modern: Sebagian orang, dengan perspektif pragmatis, mungkin bertanya mengapa Imam (as) dan para sahabatnya memilih jalan yang akan menuntun mereka pada kesyahidan? Tasua adalah jawaban atas pertanyaan ini. Pilihan-pilihan pada masa itu tidak didasarkan pada logika “untung rugi” duniawi, melainkan pada logika “memenuhi kewajiban” dan “menjaga prinsip-prinsip.” Ini adalah pilihan yang rasional, tetapi yang didasarkan pada rasionalitas transenden yang cakrawalanya adalah keabadian, bukan kesenangan dan keamanan duniawi yang fana.
Tasua bukan sekadar hari sebelum Asyura, melainkan hari "bashiroh" dan "kesetiaan", hari yang mengajarkan kita cara mengandalkan bashiroh ilahi dan tetap teguh dalam perjanjian kita di tengah godaan dan tawaran yang tampaknya aman dan manis. Tasua menunjukkan kepada kita bahwa puncak kekuatan manusia adalah pada saat ia memilih yang terakhir antara keamanan yang tampak dan kesetiaan kepada kebenaran. Pertanyaan utama kita adalah bagaimana menafsirkan ulang pesan hari ini di dunia saat ini? Jawabannya adalah bahwa kita masing-masing mengalami "Tasua" dalam kehidupan individu dan sosial kita, saat-saat ketika kita harus memilih antara prinsip dan kepentingan, antara kebenaran dan kepalsuan, dan antara tetap setia pada perjanjian ilahi atau menerima janji-janji setan. Kami menutup catatan ini dengan undangan untuk merenungkan, yang diilhami oleh ulama Karbala yang bijak, bahwa di saat-saat kritis kehidupan, kita dapat mencari keselamatan sejati di tempat perlindungan Ilahi, dan dengan bantuan doa dan kesabaran, mempersiapkan diri kita untuk memenuhi tugas-tugas manusiawi dan ilahi kita yang agung. (HRY)