Vernon James Schubel meraih gelar doktor dalam studi agama dari Universitas Virginia pada tahun 1988. Ia mengajar berbagai mata kuliah tentang Islam, termasuk Islam klasik, Islam di Asia Tengah, serta Sufisme dan agama-agama di Asia Selatan. Minat penelitian utamanya adalah Islam di Asia Tengah dan Selatan. Pada tahun 1989, ia menghabiskan waktu sebagai peneliti di Multan, Pakistan, di mana ia melakukan penelitian tentang pusat-pusat ziarah kaum Sufi. Ia juga menghabiskan tujuh bulan di Uzbekistan pada tahun 1996. Bukunya, Religious Performance in Contemporary Islam, diterbitkan oleh University of South Carolina Press pada tahun 1993.
Profesor studi agama di Ohio State University, yang juga penulis entri "Asyura dan Berkabung" dalam The Oxford Research Encyclopedia of Religion, berbicara kepada IQNA tentang pentingnya ajaran-ajaran Imam Husein (as) dan peristiwa Karbala. Berdasarkan penelitian akademis dan kerja lapangan selama bertahun-tahun tentang fungsi ritual berkabung, Schubel memandangnya lebih dari sekadar serangkaian ritual untuk memperingati peristiwa Karbala.
Berikut adalah kutipan percakapannya.
Iqna - Anda menyebutkan bahwa ritual berkabung merupakan "transmisi ajaran moral." Bagaimana Anda memandang kisah Karbala efektif dalam pendidikan moral dan spiritual lintas generasi di komunitas Syiah?
Peristiwa Karbala telah menjadi titik fokus pengajaran moralitas dan kebajikan bagi umat Islam dari generasi ke generasi. Sebagaimana dinyatakan dalam surah Al-Alaq, surah pertama yang diturunkan, tujuan wahyu adalah untuk "mendidik umat manusia". Tujuan Islam sebagai agama adalah kesempurnaan manusia. Penceritaan ulang kisah Karbala setiap tahun telah memungkinkan generasi-generasi Muslim berikutnya untuk mengenal contoh-contoh perilaku manusia, baik secara emosional maupun intelektual.
Perilaku Imam Husein dan para sahabatnya, seperti yang terlihat dan tercermin dalam ritual berkabung, mengetengahkan model teladan kemanusiaan yang menantang para peserta ritual berkabung untuk menemukan cara mewujudkan kebajikan seperti keberanian, kebaikan, toleransi, dan ketekunan dalam kehidupan mereka sendiri.
Yang terpenting, perjumpaan dengan Karbala yang terjadi di tengah duka cita Imam Husein (as) berakar pada cinta. Sebagaimana seseorang pernah menjelaskan kepada saya, jika kita mencintai Allah, kita juga harus mencintai orang-orang yang paling dicintai Allah. Muhammad (saw) adalah Kekasih Allah. Cahayanya adalah ciptaan pertama yang diciptakan Allah; tentu saja, jika kita ingin mencintai Allah, kita harus mencintai Muhammad (saw). Demikian pula, jika kita ingin mencintai Nabi (saw), kita juga harus mencintai orang-orang yang paling beliau cintai: Putrinya, Fatimah (as), menantu sekaligus sepupunya, Imam Ali (as), serta cucu-cucu beliau, al-Hasan (as) dan al-Husein (as), yang semasa kecil suka bermain-main di punggung Nabi saat beliau salat.
Jika kita mencintai Allah dan Nabi, bagaimana mungkin kita mendengar penderitaan keluarga tercinta Nabi tanpa merasa sedih? Kesedihan ini adalah tanda cinta. Jika kita sungguh-sungguh mencintai mereka, bukankah seharusnya kita berusaha untuk menjadi seperti mereka? Imam Husein (as), putra Imam Ali (as) dan cucu Nabi Muhammad (saw), memberikan teladan kebajikan manusia yang harus kita semua ikuti, dan tidak ada tempat di mana kebajikannya lebih nyata daripada di Karbala. (HRY)
4296704