
“Semakin lama [Perdana Menteri Israel Benjamin] Netanyahu dan para pendukungnya menunda melakukan (penghentian agresi) ini…, semakin banyak tahanan mereka yang akan kehilangan nyawa di tangan tentara mereka dengan pemboman Zionis dan rudal Amerika,” ungkap Osama Hamdan, perwakilan gerakan perlawanan Palestina di Lebanon, pada konferensi pers di Beirut pada hari Senin.
Sekitar 250 orang ditawan pada 7 Oktober tahun lalu saat Badai Al-Aqsa, sebuah operasi pembalasan yang dilakukan kelompok perlawanan Gaza.
Hamas membebaskan 105 tawanan selama gencatan senjata selama seminggu pada akhir November.
Sebelumnya pada bulan Mei, Khalil al-Hayya, wakil kepala Biro Politik Hamas, mengatakan pemboman rezim di Gaza telah menewaskan 70 persen tawanan Zionis.
Gerakan ini mensyaratkan pembebasan tawanan lainnya dengan penghentian perang sepenuhnya, penarikan para agresor, kesepakatan pertukaran tawanan yang layak, dan pengiriman pasokan kemanusiaan ke Gaza.
Baru-baru ini mereka menyetujui proposal gencatan senjata lain yang diajukan oleh mediator Mesir dan Qatar, namun ditolak oleh rezim Israel.
Hamdan menegaskan kembali bahwa “penduduk Zionis tidak akan mendapatkan kembali tahanan mereka yang ditahan oleh kelompok perlawanan kecuali sesuai dengan persyaratan yang telah disampaikan kepada mediator di Mesir dan Qatar melalui kesepakatan yang nyata dan serius.”
Lebih dari 36.000 warga Palestina, kebanyakan wanita dan anak-anak, tewas dalam perang Israel yang dilancarkan setelah Badai Al-Aqsa.
Pejabat Hamas mengatakan, “Klaim pendudukan mengenai kehadiran orang-orang bersenjata di lokasi pembantaian selama pelaksanaan (serangan udara) tidak tahu malu dan palsu.”
Klaim tersebut dibantah oleh gambar-gambar jenazah warga sipil yang menjadi martir, termasuk anak-anak dan perempuan. Selain itu, wilayah tersebut terletak di sebelah barat Rafah dan jauh dari wilayah operasi pendudukan serta lokasi bentrokan dengan perlawanan. (ARN)
Sumber: arrahmahnews.com