Menurut Iqna, Imam Hasan al-Mujtaba (as) adalah Imam kedua kaum Syiah, putra pertama Imam Ali (as) dan Fatimah (as), serta cucu pertama Nabi Muhammad (saw). Beliau lahir di Madinah pada tanggal 15 Ramadhan tahun ke-3 Hijriah, dan wafat pada tanggal 28 Safar tahun ke-50 Hijriah, pada usia 47 tahun.
Imam Hasan (as) adalah pelaksana wasiat ayahnya, Amirul Mukminin, atas keluarga, anak-anak, dan sahabat ayahnya. Ali (as) mewariskan kepadanya untuk mengawasi apa yang telah ia wakafkan dan berikan sebagai sedekah. Untuk tujuan ini, ia menulis sebuah wasiat terkenal, yang telah dikutip oleh sebagian ulama besar, dan banyak ahli hukum dan pemikir telah mengambil manfaat dari petunjuk wasiat itu dalam agama dan urusan duniawi mereka.
Pada tahun 41 H, Imam Hasan (as) meninggalkan Kufah setelah berdamai dengan Muawiyah. Perdamaian ini, yang dibuat untuk mencegah pertumpahan darah lebih lanjut dan menjaga persatuan umat Islam, disambut dengan berbagai reaksi dari masyarakat. Peristiwa ini merupakan salah satu titik balik dalam sejarah Syiah dan menunjukkan keadaan sulit Imam dan ketidakpuasannya dengan tindakan orang-orang Kufah.
Basmah Dolani, seorang analis dan penulis dunia Arab, telah membahas dalam sebuah catatan tentang perdamaian Imam Hasan (as) dan keterasingannya di tanah airnya akibat perilaku penduduk Kufah, dan menganggap perdamaian ini sebagai dasar bagi kebangkitan Huseini dan keabadian revolusi ini. Lebih lanjut, catatan ini bertepatan dengan 28 Safar dan peringatan syahidnya Imam kedua Syiah.
Kehidupan Imam Hasan (as) penuh dengan ilmu, jihad, perjuangan, dan perlawanan terhadap penindasan demi menegakkan agama Islam. Beliau banyak menderita di tengah masyarakat, bersama kaumnya, dan para sahabatnya, serta berulang kali mengalami penganiayaan.
Para sahabat dan pengikutnya menyalahkannya karena membuat perdamaian dengan Muawiyah dan tidak mengetahui tujuan Imam (as) dalam perdamaian ini, sehingga ia tinggal di tengah-tengah mereka dalam pengasingan dan, karena ia ditindas, ia berulang kali mencoba menjelaskan kepada para sahabat dan pengikutnya mengapa ia membuat perdamaian ini.
Dalam khotbah yang disampaikan oleh Imam Hasan (as) setelah terlaksananya perjanjian damai, beliau menanggapi orang-orang yang mengkritiknya atas tindakan tersebut, dengan mengatakan: "Ketika Muawiyah tidak setuju dengan saya tentang hak yang seharusnya menjadi hak saya, bukan haknya, saya berfokus pada kesejahteraan bangsa dan mengakhiri fitnah. Kalian berbaiat kepada saya dengan syarat kalian berdamai dengan orang-orang yang berdamai dengan saya dan memerangi orang-orang yang memerangi saya. Maka saya memutuskan untuk berdamai dengan Muawiyah dan mengakhiri perang antara saya dan dia. Saya berikan baiat kepadanya dan meyakini bahwa menyelamatkan darah umat Islam lebih baik daripada menumpahkannya, dan saya hanya menginginkan kesejahteraan dan keselamatan kalian, meskipun saya tahu bahwa ini mungkin merupakan ujian dan kesenangan sesaat bagi kalian."
Imam (as) memiliki banyak sifat dan keutamaan, dan beliau adalah seorang Imam yang alim, toleran, dermawan, mulia, rendah hati, dan pemberani. Sejarah hidupnya yang penuh berkah penuh dengan hikmah, khotbah, mauidhoh, dan khotbah. Beliau memperhatikan detail-detail terkecil yang mungkin ditemui seseorang dalam kehidupan sehari-harinya, baik keagamaan maupun sosial.
Imam (as) rendah hati dan lembut dalam berinteraksi dengan kaum miskin dan yang membutuhkan. Beliau tidak pernah membeda-bedakan orang, karena di mata beliau, mereka semua adalah ciptaan Tuhan yang harus diperlakukan dengan rendah hati, baik hati, dan penuh kasih sayang. Beliau tidak menolak ajakan siapa pun, melainkan menerimanya dengan cinta dan kasih sayang.
Imam Hasan (as) rendah hati dalam hidupnya dan tidak melakukan ini untuk pamer, tetapi perhatiannya adalah untuk menaati Allah swt, karena Allah swt membenci orang yang sombong dan mencintai orang yang rendah hati, terutama mereka yang rendah hati di hadapan manusia dan melayani mereka serta menjaga martabat mereka dengan menerima undangan mereka untuk makan atau menerima hadiah kecil dari mereka, perbuatan yang baik, kesih sayang dan perbuatan lainnya.
Di antara sifat-sifatnya yang lain adalah kemurahan hati dan pengampunan, dan karena kemurahan hati dan pengampunannya tanpa pilih kasih atau bantuan, beliau disebut "Karim Ahlulbait/dermawan as). Telah diriwayatkan tentang kemurahan hatinya bahwa seseorang meminta sesuatu kepada al-Hasan bin Ali (as), Imam memberinya lima puluh ribu dirham dan lima ratus dinar dan berkata: Bawalah seorang kuli untuk membawanya untukmu. Seorang kuli dibawa dan Imam memberinya jubahnya dan berkata: Ini adalah pahala seorang kuli.
Mengenai keberanian Imam, patut disebutkan bahwa beliau adalah seorang yang berani, teguh pendirian, dan berkemauan keras. Beliau turut serta bersama ayahnya, Ali bin Abi Thalib (as), dalam Perang Jamal dan Perang Siffin. Bertentangan dengan apa yang telah disebarkan untuk mencoreng citra gemilangnya, beliau justru memegang jabatan-jabatan tinggi.
Sikap berani lainnya adalah ketika ia berdiri sebagai seorang khotib dan membongkar kebohongan serta klaim Muawiyah, dengan berkata: “Wahai manusia, seandainya aku berdiri selama setahun penuh dan menyebutkan apa yang telah Allah swt anugerahkan kepada kita dalam Kitab-Nya dan lisan Nabi-Nya, dan telah menugaskan kita untuk itu, niscaya aku tidak akan mampu menghitungnya. Aku adalah putra Nabi, seorang pemberi peringatan, pembawa kabar gembira, dan pelita yang bersinar, yang telah Allah jadikan rahmat bagi semesta alam, dan ayahku, Ali, adalah wali orang-orang beriman, dan seperti Harun. Muawiyah mengklaim bahwa aku menganggapnya layak menjadi khalifah, tetapi aku sendiri tidak menganggapnya layak. Muawiyah berbohong. Demi Allah, kita adalah kaum yang paling berhak menurut Kitab Allah dan sabda Rasulullah (saw). Namun, kita, Ahlulbait (as), telah ditindas dan dianiaya sejak wafatnya Rasulullah (saw). Semoga Allah menjadi hakim antara kami dan orang-orang yang menganiaya kami, memerintah kami dengan kekerasan, menghasut manusia untuk melawan kami, menahan bagian kami dari fai’, dan menghalangi ibu kami dari apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah (saw) untuknya.
Setelah membahas keutamaan dan sifat-sifat mulia Imam Hasan (as), kini kita akan membahas keteraniyaan yang dialami Imam (as) di tengah masyarakat, kaum, dan para pengikutnya. Dapat dikatakan bahwa Imam Hasan (as) hidup sebagai orang asing di tanah kelahirannya sendiri dalam segala hal. Beliau juga mengalami penganiayaan di masyarakat dan oleh kaumnya sendiri. Ketika ditanya: "Apa yang mendorongmu melakukan apa yang engkau lakukan?" (artinya menyerah kepada Muawiyah dan berdamai dengannya), Imam (as) menjawab: "Aku muak dengan dunia dan melihat bahwa penduduk Kufah adalah kaum yang tak seorang pun dapat percaya kecuali mereka akan dikalahkan. Mereka tidak sependapat satu sama lain dan tidak memiliki niat yang pasti dalam kebaikan atau keburukan. Ayahku (Imam Ali) juga menderita musibah besar dari mereka. Seandainya aku tahu kepada siapa mereka akan berpaling setelah aku! Kufah akan segera dihancurkan."
Ketika kita berbicara tentang keteraniayaan Imam (as) dan penindasannya, pikiran langsung tertuju pada perdamaian dengan Muawiyah. Di sini, keteraniayaan dan penindasan mewujud dalam bentuk-bentuk tertingginya, karena Bani Umayyah berusaha mencoreng nama Imam Hasan (as) dengan berbagai cara dan bentuk, serta menyebarkan rumor-rumor yang akan mempermalukannya. Sebagian besar orang sezamannya terpengaruh oleh rumor-rumor ini dan mempercayainya. Beberapa dari mereka bahkan menggambarkannya sebagai pencela kaum beriman, karena mereka tidak memahami mengapa Imam Hasan menandatangani perdamaian dengan Muawiyah dan juga tidak memahami dimensi gaib dan konsekuensinya di masa depan.
Imam Hasan (as) menjelaskan alasan perdamaiannya. Hanya beliau yang menyadari niat tersembunyi Muawiyah dan tahu bahwa perang dengan Muawiyah akan membawa malapetaka bagi kaum Syiah dan para pengikutnya. Imam (as) mengetahui sisi terdalam dari berbagai masalah, sementara rakyat biasa hanya mengetahui penampilan dan rupa luarnya. Imam sepenuhnya menyadari situasi rakyat saat itu dan menaruh belas kasihan kepada mereka karena mereka tidak mengetahui kebenaran dan realitas perjanjian damai ini. Seandainya mereka mengetahui hal ini, mereka tidak akan meninggalkannya dan tidak akan mengecewakannya berkali-kali. Mereka akan berdiri di sampingnya, mendukungnya, memperkuat pasukan mereka, dan melawan Muawiyah. Dengan demikian, kemenangan akan menjadi milik mereka. Sayangnya, orang-orang di sekitarnya meninggalkannya, sebagaimana panglima pasukannya juga meninggalkannya dan bergabung dengan Muawiyah. Hanya segelintir pengikut setia dan penuh kasih yang tersisa bersama Imam.
Tujuan utama Muawiyah adalah kekuasaan dan dominasi atas rakyat. Ia sendiri bahkan berkata: "Demi Allah, aku tidak memerangi kalian agar kalian salat, berpuasa, berhaji, atau membayar zakat. Tetapi kalianlah yang melakukannya. Aku memerangi kalian hanya untuk memerintah kalian, dan Allah telah memberikan ini kepadaku, dan kalian enggan melakukannya." Perhatian Muawiyah bukanlah untuk memperbanyak salat, atau menyerukan puasa, atau mendorong orang-orang untuk menyucikan harta mereka, atau melakukan ritual haji sama sekali. Sebaliknya, satu-satunya perhatiannya adalah kekuasaan, dominasi, dan kekuasaan atas rakyat. Bangsa ini pada masanya dan setelahnya, pada masa putranya, Yazid, dan kemudian pada masa Bani Umayyah, mengalami bentuk terorisme, pembunuhan, dan pertumpahan darah yang paling mengerikan. Para pencinta keluarga Nabi sangat menderita selama pemerintahan mereka. Mereka terbunuh, darah mereka tertumpah, dan mereka diusir dari tanah mereka.
Imam Hasan (as), yang menyadari peristiwa tersebut, tahu bahwa para pengikutnya akan sangat menderita akibat kebiadaban Bani Umayyah. Oleh karena itu, beliau menerima perdamaian ini, terutama demi kebaikan Islam dan kedua, demi kebaikan para pengikut dan pecintanya. Beliau lebih memilih menanggung ketidakadilan ini, karena jika tidak, beliau tidak akan mampu melawan Muawiyah. Beliau tidak kekurangan kecerdasan dan keberanian untuk ikut serta dalam pertempuran melawan Muawiyah. Namun, yang kurang darinya hanyalah ketulusan dan dukungan para pengikutnya. Sayangnya, mereka justru meninggalkan junjungannya di masa-masa tersulit.
Di penghujung, dapat dikatakan bahwa seandainya Imam Hasan (as) memiliki perlengkapan, personel, ketulusan, dan keteguhan dalam berperang, beliau pasti bisa menghadapi Muawiyah dan mengalahkannya. Namun, kebijaksanaan ilahi mengharuskan beliau hidup di masa pengkhianatan para sahabat dan pengikutnya, serta selama masa pengasingannya di tanah air. Hikmah ilahi mengharuskan zamannya menjadi masa persiapan dan landasan bagi kebangkitan saudaranya, Imam Husein (as), dalam sebuah revolusi yang diabadikan dalam sejarah, di mana Imam Husein (as), para sahabat, dan keluarganya gugur sebagai syahid. Tanpa landasan yang diletakkan oleh Imam Hasan (as), revolusi itu tidak akan terwujud. Keberkahan kemenangan revolusi Huseini dan keabadiannya dalam sejarah, bahkan hingga hari ini, adalah berkat kesabaran dan keteraniyaan Imam Hasan (as), pengorbanannya, dan kemudian kesyahidan Imam Husein (as) yang tak tertandingi dalam sejarah. (HRY)