IQNA

Catatan

Tilawah Alquran dengan "Suara Latar Musik": Keindahan Imajiner, Distorsi Nyata

2:23 - November 30, 2025
Berita ID: 3483074
IQNA - Mengiringi bacaan Alquran dengan alunan musik, yang berarti seorang qari Alquran membaca Alquran sambil mendengarkan suara atau lagu sebagai latar belakang, perlu direnungkan dan patut dikhawatirkan, karena iringan bacaan Alquran merusak selera orang terhadap suara. Sebuah fenomena yang berakar pada tradisi tilawah Alquran generasi milenial.

Seyyed Mohsen Mousavibaldeh, seorang penulis dan pengajar pelopor Alquran, telah mengkaji fenomena yang sedang berkembang, yaitu "menambahkan suara latar pada bacaan Alquran" dalam sebuah catatan peringatan, yang menggambarkannya sebagai "distorsi berbahaya" dan memperingatkan para qari muda. Catatan eksklusif ini, yang diberikan kepada IQNA, mengungkap aspek tersembunyi dari promosi pendekatan ini dari perspektif budaya dan dampak globalnya, yang teksnya akan kita baca di bawah ini;

Iringan suara bacaan Alquran secara bawah sadar, yakni pembaca Alquran membaca Alquran sambil diiringi suara atau lagu di latar belakang bacaan, merupakan hal yang perlu direnungkan dan menjadi perhatian.

Ini bahkan bisa mencakup sekelompok suara yang bernyanyi serempak; misalnya, iringan vokal untuk bacaan utama. Tentu saja, ini bukan berarti beberapa orang membaca Alquran bersama-sama; tidak, itu sah-sah saja, melainkan satu orang membaca Alquran sebagai pembaca utama dan suara latar yang merdu dimainkan secara bersamaan. Tidak masalah apakah suara latar ini berasal dari laring, instrumen, atau bahkan efek komputer, yang mengiringi bacaan Alquran.

Fenomena ini merupakan jenis inovasi dan distorsi baru; bukan dalam artian benar-benar baru, melainkan dalam artian dampaknya lebih terasa saat ini dibandingkan masa lalu dan dianggap sebagai bahaya yang sangat serius; bahaya yang tak kalah besarnya dengan pelanggaran aturan tajwid dan melodi Alquran. Sebagai contoh, jika kita membaca sebuah ayat dan pada saat yang sama, sebuah suara dimainkan sebagai sub-bacaan, maka hal itu dianggap sebagai semacam musik dan, bisa dibilang, harmoni. Bahayanya adalah jika orang-orang secara bertahap mendengarkan harmoni dan sub-bacaan ini bersamaan dengan pembacaan Alquran -yang, bagaimanapun, dapat membuat karya tersebut lebih indah- namun seiring waktu, selera orang-orang akan berubah.

Mengenai cita rasa suara, perlu dikatakan bahwa selama seribu empat ratus tahun, manusia telah terbiasa dengan lantunan indah para qari Alquran; keindahan yang dimulai sejak awal dengan lantunan Nabi Muhammad (saw) di tengah malam, dan kita mendengar bahwa Imam Sajjad (as) dan para imam kita lainnya melanjutkannya. Para imam kita memiliki suara yang sangat indah, dan di antara mereka, Imam Sajjad (as) melantunkan Alquran sedemikian rupa sehingga pendengarnya akan "terpukau" dan terbuai; mirip dengan keadaan yang dialami Nabi Musa (as) di Gunung Tur dan dengan manifestasi Tuhan. Lantunan lantunan merdu para qari ini telah berlanjut sepanjang sejarah dan kita saksikan hari ini.

Dalam seratus tahun terakhir, dengan munculnya alat perekam dan pemutar suara, kita telah menyaksikan pelestarian bacaan-bacaan indah yang bermanfaat bagi masyarakat umum, bahkan non-Muslim.

Sekarang, kalau kita mengiringi bacaan Alquran dengan alunan musik tertentu, dan menjauh dari bacaan tunggal qari, dan bergerak ke arah menggabungkan bacaan Alquran dengan harmoni bersama qari utama, baik menggunakan alat musik maupun efek, lambat laun selera masyarakat tidak lagi terpuaskan dengan bacaan tunggal dan khas qari seperti Ustad Abdul Basit. (HRY)

 

4319603

Kunci-kunci: Catatan ، Tilawah Alquran ، Suara ، Harmoni Musik
captcha