Demonstrasi tersebut berlangsung pada hari Senin di kota Madinat al-Salam dan Khan Arnabeh, di mana para peserta meneriakkan slogan-slogan menentang Netanyahu dan rezim pendudukan Tel Aviv.
Mereka memprotes penempatan ilegal pasukan Israel di selatan Suriah dan dengan keras mengecam kebijakan agresif entitas Zionis terhadap Suriah.
Para pengunjuk rasa meneriakkan, “Israel, keluar dari Suriah,” serta menuntut penarikan penuh pasukan pendudukan Israel dari wilayah selatan Suriah.
Sementara itu, warga setempat berencana mengadakan aksi unjuk rasa di kota Jasim dan beberapa tempat lain di provinsi Dara’a pada hari Selasa sebagai bentuk kecaman kuat terhadap campur tangan asing dalam urusan domestik Suriah dan pelanggaran terhadap kedaulatan nasionalnya.
Para penyelenggara menyatakan bahwa aksi mendatang akan berfokus pada penolakan total terhadap campur tangan dalam urusan internal negara Arab tersebut, serta menegaskan penghormatan penuh terhadap integritas wilayah dan independensi pengambilan keputusan Suriah.
Aksi unjuk rasa ini terjadi setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Minggu menyatakan bahwa pasukan rezimnya akan tetap hadir secara permanen di puncak Gunung Hermon dan zona keamanan di sekitarnya.
Gunung Hermon, yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai Jabal al-Shaykh, merupakan gugusan puncak gunung bersalju yang menjulang di perbatasan Suriah-Lebanon.
Gunung ini menghadap ke daerah pedesaan Damaskus serta Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, yang direbut dari Suriah selama Perang Enam Hari tahun 1967.
Pasukan militer Israel “akan tetap berada di puncak Gunung Hermon dan zona penyangga tanpa batas waktu untuk melindungi permukiman kami dan menggagalkan setiap ancaman,” ujar Netanyahu dalam upacara kelulusan perwira di kota Holon, selatan Tel Aviv.
Ia menyerukan agar pemerintahan baru Suriah menerapkan “demiliterisasi penuh” di wilayah selatan Suriah, termasuk di provinsi Quneitra, Dara’a, dan Suwayda.
Netanyahu juga memperingatkan bahwa Israel “tidak akan mengizinkan” pasukan yang berafiliasi dengan Hay’at Tahrir al-Sham atau tentara baru Suriah memasuki wilayah selatan Damaskus.
Faksi-faksi militan yang dipimpin oleh Hay’at Tahrir al-Sham menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024.
Setelah jatuhnya pemerintahan Assad, militer Israel mulai melancarkan serangan udara terhadap instalasi militer, fasilitas, dan gudang senjata milik tentara Suriah yang kini telah bubar.
Israel secara luas dan keras dikecam atas penghentian perjanjian gencatan senjata tahun 1974 dengan Suriah serta atas eksploitasi kekacauan di negara Arab tersebut pasca kejatuhan Assad untuk melakukan perebutan wilayah.
Zona penyangga di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Arab-Israel tahun 1973. Pasukan PBB yang berjumlah sekitar 1.100 tentara telah berpatroli di daerah tersebut sejak saat itu.
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Stephane Dujarric, pada bulan Desember menyatakan bahwa keberadaan tentara Israel, berapa lama pun berlangsung, tetap melanggar perjanjian yang membentuk zona penyangga tersebut.
“Perjanjian itu harus dihormati, dan pendudukan tetaplah pendudukan, apakah itu berlangsung selama seminggu, sebulan, atau setahun, tetaplah pendudukan,” tegas Dujarric. (HRY)
Sumber: arrahmahnews.com