Hujjatul Islam wa al-Muslimin Muhsin al-Wiri, Anggota Dewan Ilmu Universitas Baqirul Ulum (As) dalam program Thulu’ Danesh (Terbit ilmu), saat melanjutkan ulasan korelasi ilmu sejarah dan pemahaman Al-Quran memberikan dua konsep pandangan mendasar berkenaan dengan subjek sejarah penaggalan Al-Quran.
Apakah Al-Quran Bisa Menjadi Subjek Ilmu Sejarah?
Pertanyaan ini disampaikan, dengan mengesampingkan pembahasan hubungan ilmu Al-Quran dan Sejarah, apakah Al-Quran itu sendiri juga bisa dipaparkan sebagai subjek ilmu sejarah? Pertanyaan ini bisa memiliki dua deduksi yang berbeda, yang mana jawaban kami dari setiap deduksi tersebut adalah positif. Al-Quran dapat mengubah jawaban kami menjadi sebuah subjek sejarah. Subjek sejarah di sini adalah sebuah subjek, dimana ilmu sejarahlah yang mengelola pengulasannya. Subjek sejarah adalah sebuah narasi besar bersejarah yang langgeng dalam sejarah dan mereka berbicara tentangnya. Al-Quran dengan arti ini merupakan narasi sejarah, akan tetapi di sini sifat kebesarannya tidaklah kami perhatikan.
Hal ini dapat digambarkan dan juga dapat terjadi. Sebagian dari mereka mengulas Al-Quran sebagai sebuah narasi sejarah. Akan tetapi kajian ini memiliki dua dimensi yang berbeda:
Dua Perspektif Dalam Mengkaji Al-Quran Sebagai Subjek Sejarah
1- Perspektif pertama, pada dasarnya mengkaji poin ini, yaitu apakah eksistensi Al-Quran adalah eksistensi sejarah, dalam artian pertama-tama kita tidak memiliki sesuatu yang bernama Al-Quran dan lambat laun mentalitas kaum muslimin menyebabkan eksistensi kitab semacam ini?
2- Perspektif kedua, mengulas bahwa dalam sepanjang sejarah, apa pasang surutnya Al-Quran dan apa narasi-narasi yang dilihatnya? Eksperimen apa yang dimiliki? Dan kedudukan apa yang dimiliki dalam konteks sejarah?
Perspektif pertama, sebelum itu menjadi sebuah sejarah, itu adalah sebuah teologi. Akan tetapi memiliki hubungan dekat dengan ilmu sejarah. Perspektif ini meyakini bahwa sejak semula tidaklah ada kitab yang terspesifikasi dengan nama Al-Quran; yakni bahkan di masa Rasulullah (Saw), dan bahkan setelah sepeninggal beliau, tidak ada sekumpulan yang sudah terspesifikasi dan tersusun dan sekumpulan ayat-ayat baru tersusun semacam ini dalam tempo beberapa dekade atau lebih dari satu abad.
Poin ini juga kontradiksi dengan wahyu Al-Quran dan juga mengingkari pemunculan Al-Quran pada masa Rasulullah (Saw) atau setelahnya. Menurut perspektif orang-orang ini, historisitas Al-Quran bukan berarti penanggalan penurunan ayat-ayat Al-Quran dan keseluruhannya terbentuk pada suatu waktu dan tidak memiliki eksistensi yang sudah terspesifikasi.
Pandangan ini adalah sebuah teologi dan mengungkapkan keraguan berkaitan dengan Al-Quran dan lafaz-lafaznya yang bersumber dari Allah SWT dan dalam sebagian tingkatan menganggap hal itu bersumber dari syuhud (kesaksian) Rasulullah (Saw) yang bersumber darinya. Dan dalam tingkatan yang lain, meyakini bahwa kandungan ini dipahami dari pihak kaum muslimin dan mereka menyusun Al-Quran dengan bahasanya. Sesuatu yang menyerupai penyusunan kitab suci orang-orang Kristen, yang mana ayat-ayat ini bukanlah ayat-ayat tersebut, yang diturunkan kepada nabi Isa (as) dan pemahaman orang-orang Kristen tersusun dari ayat tersebut.
Perlu diperhatikan bahwa ini bukanlah pandangan sejarawan. Barangkali kebanyakan dari para teolog yang meneliti pemikiran-pemikiran baru yang memaparkannya.
Kritikan Para Pengklaim Sejarah Eksternal Agama Berkenaan Dengan Al-Quran
Di sini ada pertanyaan, menurut pandangan sejarah, jawaban apa yang dapat diberikan terhadap masalah ini? Kritik pendapat ini dari perspektif sejarah dapat dipaparkan dalam beberapa metode.
1- Terdapat laporan-laporan sejarah dengan berdasarkan bahwa Al-Quran pada suatu masa sudah terspesifikasi dan tersusun dengan pengawasan dan petunjuk Rasulullah (Saw).
2- Data-data internal Al-Quran: Dalam sebuah pandangan sejarah, ajaran-ajaran internal Al-Quran memiliki penunjukan sejarah. Allah dalam Al-Quran Al-Karim menegaskan bahwa, Kamilah yang menurunkan kitab ini dan Kamilah yang menjaganya. Dan berkata kalimat ini bukanlah ucapan manusia. Hal-hal ini adalah tuntunan internal dan Al-Quran telah membuktikan untuk dirinya sendiri. Dimana pandangan eksternal membuktikan perihal tersebut, sedangkan pandangan internal mengingkarinya, maka kami lebih memprioritaskan pandangan internal.
Perspektif Internal Agama Dalam Mengulas Sejarah Al-Quran
Perspektif kedua yang mengulas Al-Quran sebagai sebuah narasi sejarah adalah sebuah pandangan; karena menurut perspektif pertama, orang-orang yang berbicara, barangkali tidak memiliki keterikatan dengan Al-Quran, akan tetapi menurut perspektif kedua, kebanyakan kaum muslimin melakukannya; meskipun sebagian non-muslim juga memperhatikannya.
Kaum muslimin tidak ragu akan kewahyuan dan penentuan secara tauqifi lafaz-lafaz kitab ini dan hanya keuniversalan kitab terspesifikasi ini saja yang mereka kaji dengan berlalunya waktu. Permasalahan seperti sejarah penyusunan Al-Quran, cara penurunan Al-Quran, peran Rasulullah (Saw) dalam penyusunan Al-Quran, predestinasi penulisan Al-Quran, jenis khat yang dipakai untuk penulisan Al-Quran, jenis lembaran-lembaran yang Al-Quran ditulis di atasnya, pemberian titik, cara peletakan bab-bab Al-Quran ke dalam 30 juz dan berbagai pihak dan pengelola perkara ini, sejarah bacaan Al-Quran, sebab pemprioritasan satu bacaan dibanding bacaan-bacaan lain, sejarah pengemasan Al-Quran.
Ini semua, tidak ada satupun yang independen dari sejarah. Dalam pandangan ini, kita memiliki sebuah fenomena bernama Al-Quran dan kami ingin melihatnya dalam bentangan sejarah, baik itu memiliki eksperimen dan pasang surut? Topik-topik yang sudah disebutkan dengan topik sejarah Al-Quran yang sudah diajarkan di universitas, yang memiliki teks-teks tersendiri.
Perbedaan Narasi Sejarah Al-Quran dan Narasi Buku-Buku Sejarah
Poin penting yang dipaparkan pada program yang sudah lewat adalah Al-Quran Al-Karim memberikan wawasan sejarah kepada para sejarawan. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah dalam Al-Quran terdapat poin sejarah khusus yang menjadi sumber sejarah?
Terdapat celah, dimana sejarawan tidak ada jalan ke sana; seperti motivasi internal seorang. Sejarawan yang hanya berurusan dengan lahiriah. Mereka tidak memiliki izin dan kemampuan untuk masuk ke mental seseorang. Namun Al-Quran masuk dalam ranah ini. Demikian juga terdapat tuntunan-tuntunan sejarah Al-Quran dalam sebagian narasi sejarah; misalnya berkenaan dengan kaum ‘Aad dan Tsamud kita memiliki sedikit informasi dalam laporan-laporan sejarah, akan tetapi Al-Quran memaparkannya secara terperinci, bahkan memaparkan indikasi-indikasi pada tempat kehidupan mereka.
Berkenaan dengan kaum Shaba, Allah berfirman, Mereka memiliki kebun dan Kami memberikan kemakmuran di antara kawasan mereka dan kawasan-kawasan lainnya. Mereka berdoa, yang mana jaraknya sangatlah banyak. Al-Quran mengatakan, seolah-olah mereka Kami sirnakan, yang tersisa hanya cerita mereka. Hal ini tidak dapat ditemukan dalam sejarah manapun. Demikian juga rincian kehidupan nabi Ibrahim (As) tidak dapat ditemukan kecuali dalam Al-Quran, yang mana hal ini dapat membantu para sejarawan untuk memahami sejarah.